Kamis, 28 Oktober 2010

Menulis 30.

Tidak sabar menunggu 30 hari.
Tanggal berapa sekarang?




29.


30.


ah, Oktober itu lebih satu hari.


31. 




Aku masih menunggu.

Sedikit Pagi

Pagi hari kali ini entah kenapa hanya sedikit raguku. Sore - sore itu memang tetap indah, tapi pagi ini membuatku lebih sehat. Lebih tegak, persis seperti kata sahabatku yang namanya seperti nama nabi itu. Pincangku sudah berhenti, hanya tinggal tersandung sedikit-sedikit. Bayangan sore memang sering sekali terlintas. Menggodaku dengan ketakutannya akan malam. Itulah kenapa aku begitu menunggu-nunggu datangnya pagi. Karena begitu pagi tiba, rasa takutku hilang.

Tahukah kau aku sudah berhenti mendengarkan sore? Aku masih takut mendengarkan nada-nada itu. Masih kuingat sore-sore saat aku masih melewati rumahmu untuk bekerja. Dan kau beserta ruang-ruang kosong di kepalamu itu mungkin masih lelap sisa semalam. Mengisi tempurung lututmu penuh-penuh. Asap-asap yang dulu ada di antara jemarimu lalu masuk ke dalam setiap rongga dadaku. Paru-paruku berontak kini. Terbatuk-batuk menunggu pagi dan mataharinya. Ingin berjemur, supaya hilang asap sisa sore itu. Satu lagi yang membuatku menyukai pagi kini.

Lalu apalagi yang kutunggu? tanyaku pada jiwaku. Pagi-pagi itu menyambutmu. Pagi-pagi itu baik untukmu. Apa yang kau cari lagi? Kau juga tidak akan tiba-tiba menjelma menjadi manusia pagi. Tidak akan kalau kau tidak mau (meski diam-diam mungkin kau menikmatinya). 

Pagi-pagi tidak akan sesombong itu kok, mereka ramah dan rendah hati. Lihat saja sinarnya. Silau, tidak seperti sore, bantahku. Ya itulah kelebihan pagi, menyilaukan tapi tidak sombong. Sore juga tidak sombong, bantahku lagi. Ah, Ia memang tidak sombong, tapi gengsian, sedikit-sedikit saja, lalu ditelan malam. Supaya Ia tidak jatuh murah, tapi tetap jual mahal. Maka sore dengan sinarnya yang temaram memberimu keindahan yang tidak tergantikan pagi. Sore yang begitu gengsi. Maka begitu berharga untuk sepasang muda yang sedang kencan di sebuah kafe, atau mungkin eksekutif muda yang sedang minum kopi mahal untuk bersantai melepas lelah. 

Tapi lihat pagi itu, lihat ibu itu? Matahari pagi membantunya mengeringkan cuciannya ketika Ia kelelahan memeras. Lihat tukang becak itu? Pagi membangunkannya untuk rezekinya. Lihat anak-anak kecil itu? Tak sabar mereka menanti pagi untuk memulai hari setelah semalaman dipaksa tidur oleh kedua orang tuanya, meninggalkan keasyikannya mencari hal baru sepanjang hari. 

Pagi menyapa semua orang. Menyapa kehidupan. Kini kau adalah semua orang, bukan lagi--ah, aku tahu sekarang kenapa disebut anak kemarin sore--- Ya, aku tahu kau masih mengamati kehidupan, aku tahu, tapi kini kau berada di dalamnya. Menginjakkan kakimu tak beralas di atas tanahnya. Bukankah rasanya nikmat sekali? Merasakan butiran-butiran tanah itu di sela-sela jari kakimu? Kaulah itu kini. Dan tahukah kau, Tuhan senantiasa memberikan apa yang kau butuhkan, bukan yang kau inginkan. 


"Aku kembali, kawan-kawan.. Kalian mencariku?" basuhku pada bumi, pada tanah. Tayamum. 


picture here

Rabu, 27 Oktober 2010

Hari Ini

Sore Siang itu basah. Hujan.
Tapi ifumie dan kwetiau tidak menunggu. Lapar.


Lalu aku menari. Sampai pulang ke rumah. 
Kali pertama. Sejak dua tahun terakhir. 


Kuharap senja. Karena pagi sudah menjemputku. 
Tapi pagi itu yang kutunggu.
Aku melangkah. Lihat tapak kakiku? 


Ia bersepatu kaca.




Jangan pecah kumohon. Setelah pincang kulewati.


Senin, 04 Oktober 2010

Sebentar Lagi 25 Oktober. Part 2


<Part 2>
Tak terasa sebentar lagi 25 Oktober. Ya, lagi-lagi 25 Oktober. Lihat? Lihat? Aku masih merayakan tanggal. Ya aku masih merayakan dirinya. Kakiku seharusnya sudah sembuh sekarang, tapi kebiasaanku untuk berjalan terpincang-pincang masih sulit dihilangkan. Sedikit-sedikit kalau diperhatikan, pasti terlihat jalanku masih timpang. Bukannya aku tidak berusaha, itu selalu yang kukatakan, tapi kebiasaan jadi alasan. Kujadikan pembenaran.

Kalau ada orang yang sungguhan pincang karena hilang kakinya, pastilah sudah menamparku keras-keras sekarang. Disangkanya aku mau mengejek. "Kamu tidak tahu sakit yang sebenarnya kan? Kamu tidak tahu rasanya kehilangan satu kaki kan? Jadi jangan sok sengsara sendiri deh, kaki sudah sembuh masih kau pincang-pincangkan! Masih banyak yang lebih susah dari dirimu sendiri tahu!!" kata orang itu pasti.

Aku tahu banyak yang lebih susah dari diriku. Itulah kenapa aku ada disini sekarang. Berdiri timpang karena kebiasaanku sendiri, tapi jauh dari orang-orang yang biasa membantu untuk berjalan normal. Aku menyeret tubuhku sendiri kesini agar terpaksa lurus. Toh, sudah tak kulewati lagi jalan tempatnya lagi, yang terus-terusan membuat jalanku timpang setiap lewat situ. Kali ini jauh, dan mau tidak mau timpangku harus tegak agar aku bisa sampai ke tempatku saat ini. Karena inilah yang kita sebut hidup. Ketika kau tidak lagi berjalan timpang karena terbiasa. Ketika setiap Senin pagi kau bangun untuk hidup lagi selama seminggu kedepan. Tidur-tidur malam dimana kau harus terus berjaga untuk dirimu. Tak akan bisa lagi kau sempat berjalan timpang. 

Tapi kau tidak akan layu kan? Sudah tidak lagi matahari sore-sore di Jakarta itu. Kini hanya nuansa yang tersisa. Pembangkit tenaga dan inspirasi. Agar terjaga otak ini. Beristirahat tak pernah cukup di akhir minggu. Bukankah hidup yang ingin kau lihat? Maka inilah yang kita sebut hidup. Tidak lagi sore-sore indah yang sekejap mampir. Meski aku tahu aku tidak akan bisa tidak suka sore. Tapi ada hidup yang harus dijalani. Dan sore saat ini hanya sekedar pelengkap. Kau tidak bisa memeluknya terus. Mungkin nanti, tapi tidak sekarang. Kau harus berjalan baik dulu, baru kujanjikan satu sore bermatahari cerah untukmu. Bukankah itu cukup adil? Karena rasa, air mata, dan sekitarmu tak mungkin lagi kini. Dan langkahmu tak bisa lebih jauh lagi sampai kau benar-benar berdiri tegak. Dan kau belum lagi meminum vitamin E, meski vitamin C-mu kini terjamin.

Suatu hal belum tentu memenuhi segalanya. Itulah dirimu saat ini. Setengah kosong, setengah isi. Perlu berapa banyak waktu dijelajahi sampai kau tahu itu terisi penuh, atau kosong hingga bersih? Kau perlu dibawa pulang, tapi birumu biar pudar dulu. Itulah kenapa disebut pergi jauh, sama seperti mereka memanggil sore begitu cepat. Agar terasa ajaibnya. Biar rindu dinantinya. Jadi, sampai kau pulang lagi. Sampai kita bertemu lagi. Pasti.