Senin, 01 November 2010

Hari Kesatu. Seperti Itu.

Hari pertamanya dimulai dari tanggal satu. Catatan perjalanannya harus dibuka, apapun caranya. Hentikan Ia mengeluh, kumohon.

Kunci-kunci bertambah di gantungannya. Memberi ruang berpikir baru. Tadinya matanya hitam berkantung. Dikejar cita-cita dan kesenangan. Livernya menggeliat. Kurang tidur, kata kawan farmasinya. Hentikan pula obat pereda nyeri itu. Tidak baik untukmu.

Ditambah lagi beban ilmu di pundak. Kata ibunya, dimanapun kau belajar, jadikan tempat yang menyenangkan. Maka disinilah Ia belajar. Lalu, muncul pertanyaan-pertanyaan itu setelah delapan bulan Ia terkurung dalam kenyamanannya. Ternyata apabila tak ada beban apapun pada otak, maka hati akan mengambil alih. Dan ternyata ketika hati lebih lelah daripada otak, maka jiwa akan bertindak. Pertanyaan-pertanyaan itu yang menghadangnya. Kalau orang lain bisa susah kenapa dia harus selalu enaknya saja? Bukankah warna-warna itu terlalu mencolok hingga maknanya tertutup? Toh Ia akan mencari makna, bukan sekedar warna-warna lagi. Yang selalu terlihat di muka. Dibayar lunas dengan luka yang sangat Ia hafal sakitnya.

Memang warna-warna itu tak ada Ia rasa. Belum. Ia akan membawa warnanya sendiri mulai sekarang. Tapi yang penting adalah makna yang Ia cari. Atau makan. Makna dan makan. Sebelum kamar kosong itu jadi miliknya.

Beberapa pertanyaan itu mungkin memang tidak akan terjawab. Tapi hidupnya tak akan disini. Bersabar sedikit hatiku, bisiknya lirih. Jiwanya memberi perintah. Menarilah diam-diam di dalam hatinya. Lalu ketika kakinya menyentuh tanah dan air disini, itulah kehidupan yang sebenarnya. Kau kembali. Tapi pergi dulu sebentar. Mengambil wudhu. Airnya sudah nyala. Jangan dibuang-buang.

1 komentar: