Kamis, 28 Oktober 2010

Sedikit Pagi

Pagi hari kali ini entah kenapa hanya sedikit raguku. Sore - sore itu memang tetap indah, tapi pagi ini membuatku lebih sehat. Lebih tegak, persis seperti kata sahabatku yang namanya seperti nama nabi itu. Pincangku sudah berhenti, hanya tinggal tersandung sedikit-sedikit. Bayangan sore memang sering sekali terlintas. Menggodaku dengan ketakutannya akan malam. Itulah kenapa aku begitu menunggu-nunggu datangnya pagi. Karena begitu pagi tiba, rasa takutku hilang.

Tahukah kau aku sudah berhenti mendengarkan sore? Aku masih takut mendengarkan nada-nada itu. Masih kuingat sore-sore saat aku masih melewati rumahmu untuk bekerja. Dan kau beserta ruang-ruang kosong di kepalamu itu mungkin masih lelap sisa semalam. Mengisi tempurung lututmu penuh-penuh. Asap-asap yang dulu ada di antara jemarimu lalu masuk ke dalam setiap rongga dadaku. Paru-paruku berontak kini. Terbatuk-batuk menunggu pagi dan mataharinya. Ingin berjemur, supaya hilang asap sisa sore itu. Satu lagi yang membuatku menyukai pagi kini.

Lalu apalagi yang kutunggu? tanyaku pada jiwaku. Pagi-pagi itu menyambutmu. Pagi-pagi itu baik untukmu. Apa yang kau cari lagi? Kau juga tidak akan tiba-tiba menjelma menjadi manusia pagi. Tidak akan kalau kau tidak mau (meski diam-diam mungkin kau menikmatinya). 

Pagi-pagi tidak akan sesombong itu kok, mereka ramah dan rendah hati. Lihat saja sinarnya. Silau, tidak seperti sore, bantahku. Ya itulah kelebihan pagi, menyilaukan tapi tidak sombong. Sore juga tidak sombong, bantahku lagi. Ah, Ia memang tidak sombong, tapi gengsian, sedikit-sedikit saja, lalu ditelan malam. Supaya Ia tidak jatuh murah, tapi tetap jual mahal. Maka sore dengan sinarnya yang temaram memberimu keindahan yang tidak tergantikan pagi. Sore yang begitu gengsi. Maka begitu berharga untuk sepasang muda yang sedang kencan di sebuah kafe, atau mungkin eksekutif muda yang sedang minum kopi mahal untuk bersantai melepas lelah. 

Tapi lihat pagi itu, lihat ibu itu? Matahari pagi membantunya mengeringkan cuciannya ketika Ia kelelahan memeras. Lihat tukang becak itu? Pagi membangunkannya untuk rezekinya. Lihat anak-anak kecil itu? Tak sabar mereka menanti pagi untuk memulai hari setelah semalaman dipaksa tidur oleh kedua orang tuanya, meninggalkan keasyikannya mencari hal baru sepanjang hari. 

Pagi menyapa semua orang. Menyapa kehidupan. Kini kau adalah semua orang, bukan lagi--ah, aku tahu sekarang kenapa disebut anak kemarin sore--- Ya, aku tahu kau masih mengamati kehidupan, aku tahu, tapi kini kau berada di dalamnya. Menginjakkan kakimu tak beralas di atas tanahnya. Bukankah rasanya nikmat sekali? Merasakan butiran-butiran tanah itu di sela-sela jari kakimu? Kaulah itu kini. Dan tahukah kau, Tuhan senantiasa memberikan apa yang kau butuhkan, bukan yang kau inginkan. 


"Aku kembali, kawan-kawan.. Kalian mencariku?" basuhku pada bumi, pada tanah. Tayamum. 


picture here

Tidak ada komentar:

Posting Komentar