Senin, 29 November 2010

Hari Kedua Puluh Sembilan. Telapak Kaki.

Disini, di daerah aku menapakkan kakiku, kulihat banyak macam-macam orang yang sama-sama menapak. Dan sepagian ini sudah kulihat beberapa orang memulai pekerjaannya tanpa alas kaki. Jumlah ini tak sebanding dengan kotaku. Disini mereka tak beralas kaki sungguh-sungguh. Harafiah. Aku bisa memberikan angka-angka bila kau tak percaya. Sepanjang perjalanan, aku melihat dua orang petani, tiga orang tukang genteng, dan seorang tukang gali yang semuanya tidak beralas kaki.

Dua orang petani itu berjalan di aspal panas di pinggir sawah. Maaf, yang satu tidak berjalan, tapi naik sepeda. Tapi tetap tak beralas kaki. Ia mengayuh sepedanya tanpa alas kaki. Kaki-kaki mereka penuh lumpur. Pasti baru naik dari sawahnya. Mungkin dingin tapaknya karena berselimut lumpur di atas aspal kasar yang panas. Jadi tak merasa mereka.

Lalu kulewati tiga orang tukang genteng itu, menuntun sepeda dan membawa keranjang-keranjang penuh genteng merah di sepedanya. Berat. Kelihatannya berat. Mereka tidak beralas kaki. Berjalan menuntun sepeda penuh genteng di atas tanah cokelat becek berbatu dan tidak nyaman. Sama-sama berselimut lumpur tapi mereka tidak dari sawah. Tanahnya memang becek keterlaluan. Luar biasa. Dari aspal panas penuh debu, hanya lewat berapa meter lalu tanah becek penuh lumpur. Aku salut pada ketangguhan kaki mereka. Sakit tergerus aspal kasar, lalu sibuk berlicin-licin ria di tanah becek. Lihat jari-jari kakinya mencengkeram kencang-kencang supaya tak terpeleset ditambah beban genteng pada tuntunannya. Pasti pegal dan lelah rasanya.

Terakhir kulihat seorang tukang gali sedang duduk di pinggir lubang yang baru digalinya. Tanahnya masih sama beceknya. Terlihat jelas, tak beralas kaki merupakan pilihan satu-satunya untuk pekerjaannya. Kakinya sudah terlatih mencengkeram tanah-tanah licin di sela-sela jari kakinya. Tapi kelelahan tetap.

Tak beralas kaki mereka. Di jalanan panas ataupun becek. Dulu orang juga tak beralas kaki. Semua tak beralas kaki. Aku gatal membayangkan bagaimana rasanya menginjak aspal panas itu. Tanah becek itu. Teksturnya di telapak kaki. Panaskah? Kasarkah? Dinginkah? Lembutkah? Sakit? Nyaman?

Kakiku gatal. Menapak di tanah. Tapi tak berani berpanas-panas. Tak mau berbecek-becek. Manja dan pemalas. 


Kaki ingin berlibur, injak pasir dan air laut, atau sekedar selonjor-selonjor bersantai juga tidak apa..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar