Kamis, 04 November 2010

Hari Keempat. Hegarmanah.

Masih ingat rasanya kakiku menapak di rumput-rumput basah Hegarmanah. Jalan yang kuingat merupakan nama salah satu pahlawan revolusi. Kapten Tendean. Izinkan aku bernostalgia sedikit, mungkin akan membuatku sedikit ceria. Seperti namaku. Seperti kata pacarku.

Waktu itu kaki-kaki kecilku masih muda, sayangnya belum mulai menari. Baru langkah-langkah kecil cha-cha yang diajari Pak De Hutomo Nastap Almarhum. Sebelum kaki-kaki itu menginjak pedal-pedal organ yang tipe dan merknya aku lupa. Hadiah ulang tahun waktu umurku menginjak delapan tahun. Ketika aku masih merasa sayang meninggalkan pohon-pohon pinus segar di Hegarmanah. Tegel-tegel kuning di lantai rumah. Kamar mandi yang sangat aku suka penataannya. Rumah masa kecilku yang saat ini selalu kuanggap dongeng saking indahnya.

Halaman besar hampir setengah lapangan bola. Dengan rumput gajah hijau favoritku. Bukan, bukan rumput halus yang tajam-tajam itu. Hanya rumput biasa di atas tanah basah penuh embun. Kakiku telanjang merasakan teksturnya. Pohon-pohon cempaka dengan kayu-kayu berurat. Yang bunganya wangi setiap Malam Jumat. Tapi wanginya aku suka. Sampai-sampai ibuku khawatir, tapi tak pernah beri tahu tentang bangku semen di pojok halaman itu. Aku sering bermain disitu. Itu taman bermainku.

Rumah beratap sirap itu menaungiku sekitar tujuh atau delapan tahun. Selain tegel kuningnya, yang paling kuingat daun pintu depannya yang besar, berwarna biru, dengan tekstur garis-garis dan dibawahnya ada lubang panjang sebesar lipatan koran. Pintu itu tidak pernah dikunci seingatku. Tempat peraduanku kala Ibu berangkat kerja. Aku menangis disitu sampai tertidur. Sampai ayahku akan mengangkatku masuk.

Jendela di kamar ayahku juga besar dari kayu. Dibuka sisi kanan dan kiri dan kau akan melihat pemandangan deretan pinus berjajar di depan rumahku. Pohon nangka, pohon alpukat, pohon jambu, sampai pohon kelapa semua ada. Tanah tinggi seperti bukit-bukitan, undak-undakan kecil seperti tangga mainan, atau kubangan lumpur kala hujan datang. Mereka taman bermainku dan Ayah.

Sampai itu semua aku tukarkan dengan sekantong penuh koin bermain di Kings. Demi roller coaster kacangan yang sampai sekarang aku cuma berani naik itu. Padahal untuk kesana aku tak suka. Berdesak- desak orang dan penuh debu. Tapi ada surga kecil di atasnya. Yang sekarang sudah lapuk dimakan usia. Dan aku menukarkan taman bermainku yang paling berharga. Dasar anak kecil bodoh. Tapi toh itu hanya bentuk kompensasi dari Ayah dan Ibu. Atas Pajak Bumi dan Bangunan yang kian mencekik. Akhirnya memang tanah-tanah tinggi dan pohon cempaka tempat bermainku harus ditutup marmer mewah punya orang seberang. Rumah norak, kataku waktu itu. Tingkat tiga dan tinggi. Padahal cukup beri aku rumah bertegel kuning bau kertas tua dengan bangku semen kosong di pojok halamannya.

Entah kemana penghuninya pergi. Kami berpencar. Suatu hari akan kukembalikan rumah itu. Akan kubuat taman bermain untuk anakku kelak. Yang akan menginjak rumput-rumput basahnya sambil menari Jawa.

Pratikele wong akrami
Dudu brono dudu rupo
Among ati pawitane
Keno pisan luput pisan
Yen gampang luwih gampang
Yen angel, angel kelangkung
Tan keno tinambak arto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar