Selasa, 16 November 2010

Hari Keenam Belas. Catatan Padi, Tanah, dan Air.

Lagi-lagi terlewat. Sedikit saja aku terlena kenyamanan, aku akan melupakan kewajiban. Sungguh manusia. Kami berserakan, Tuhan. Persis seperti beras di lumbung padi. Bertaburan diangin-angin. Aroma sepanjang perjalanan memang selalu kuhirup. Bau debu, bau asap, bau sampah, bau angin, bau angkot, bau sawah, bau angin. Segala macam bau aku hirup. Bermacam-macam sepanjang perjalanan. Kali ini aku mencium bau sawah. Bau lumpur dan bebek-bebeknya.

Sawah-sawah hijau berhektar-hektar itu pasti kulewati. Kini tiga bulan menuju panen. Beberapa petani, ibu-ibu, bapak-bapak setiap pagi menunduk menanam padi. Kini hijau sudah terbentang. Hanya masih pendek-pendek. Tiga bulan lagi. Tabungannya akan terisi sedikit lagi. Untuk beli pupuk yang terbaik atau membeli buku tulis baru untuk anaknya. Semoga tercapai cita-citanya. Pendidikan dasar masih enam tahun lagi. Ada beban di pundaknya. Cita-cita bangsa ini. Bangsa yang kaya, kupegang setiap hari kekayaannya, pikirnya. Ia kelola selama setahun tiga kali panen. Ia berikan nasi-nasi itu untuk para buruh. Para pekerja. Akar. Bibit. Walau tak pernah seputih itu. Tapi tanah ini begitu suburnya. Ketika Ia tanam sejumput padi itu setiap empat bulannya, tunggulah maka berbutir-butir beras Ia petik. Lalu ditimbang, dan dihargai. Hartanya. Berbagi sedikit dengan tetangga. Makan dua kali sehari. Ada beban di pundaknya. Cita-cita bangsa ini. Yang Ia tahu namanya. Yang Ia tahu sejarahnya. Hanya tak tahu Ia orang-orangnya. Yang memegang kertas berkop surat dan cap-cap biru serta plat-plat merah datang ke desanya. Memasang papan bernama koperasi dan mengatur hutang serta piutang. Boleh ini dilewati? Saya cuma butuh makan dan buku tulis baru untuk anak saya. Polos. Kosong.

Memang buku tulis anaknya bertumpuk sudah bercoretan pensil. Pensil kayu. Entah dari hutan mana di negeri ini. Yang kaya. Yang pohonnya tumbuh tak henti-henti. Rimbun. Tapi tunggu lama dari orang-orang menebangnya. Butuh waktu. Dia antara jeda-jeda itulah kalian petik akibatnya sendiri. Mampus diterjang bah. Tanah lumpur berlarut-larut. Seperti pasir. Menutup wajah dan tubuhmu. Manusia diciptakan dari tanah dan kembali ke tanah. Sebelum kau tanda tangani surat-surat dan label-label kecil. Silakan minum dari tanahmu. Nikmati air dinginnya melewati tenggorokanmu. Air yang kaya. Bangsa yang kaya. Berliter-liter cairan kau  miliki. Tapi tak bisa kau pegang. Memang cairan tak mudah dipegang. Ia akan berubah bentuk menyerupai wadahnya. Kini wadahmu tak berbentuk. Mengalirlah Ia mencari celah. Ke tempat yang lebih rendah tapi lebih mudah. Uang, lebih mudah. Kami suka berlibur. Kami suka bersantai. Jadi kalau ada cara mudah mendapatkan itu kenapa tak digunakan saja?

Negeri ini terlalu indah untuk dipakai bekerja. Pikirkan cara mendapat uang sebanyak-banyaknya tanpa perlu terlalu lelah. Lalu berlibur dan bersantailah. Silakan menikmati matahari negeriku, yang tidak malu-malu. Atau nikmati air-airnya. Mereka juga tidak malu-malu. Siap membawamu. Tenggelam sampai regu penolong muncul. Lupa diri. Lalu kau kembali ke tanah. Negeri ini siap memanjakanmu.


Selamat datang. Ini surga.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar