Rabu, 10 November 2010

Hari Kesepuluh. Sepuluh November.

Pak, hari ini Sepuluh November.
Saya mendengarkan Juwita Malam berulang-ulang. Saya ingat guratan-guratan kulit keriput Bapak menyentuh wajah saya. Waktu itu di sebuah hotel di Kota Semarang. Kenangan perjalanan jauh bersama Bapak Ibu. Saya lupa umur berapa waktu itu. Saya tidak tahu untuk apa kita pergi ke Semarang. Tapi disana saya lihat banyak kulit-kulit keriput seperti Bapak di hotel itu. Dan topi seperti peci berwarna oranye. Saya ingat kami pergi naik mobil corona putih D 403 BV. Berkendara dari Bandung menuju Semarang. Bersama seorang sahabat Bapak, Pak Soediro Almarhum. Yang tangan keriputnya saya suka. Lebih kekar sedikit daripada Bapak. Terlihat kuat. Tapi bagaimanapun Bapak tetap favorit saya.

Ibu dulu suka pakai kain dan kebaya ya, Pak. Tapi kala itu sudah tidak sepertinya. Saya ingat suka mendengarkan kisah Ibu mengejar kereta ke Jatinegara untuk kuliah. Di kampus UI tahun 1966. Ikut pergerakan mahasiswa kala itu. Jam malam diberlakukan untuk mereka. Terbayang tidak bisa keluyuran malam-malam. Ibu harus mengejar kereta supaya sampai di Bandung tepat waktu. Ditunggu Bapak di rumah.

Memori saya campur aduk, Pak. Hampir menghabiskan baterai ponsel demi mendengar sedikit keroncong. Supaya memoriku terus berjalan mundur. Dimulai dari keriput di tangan Bapak. Tapi susunannya mulai berantakan. Ingat Ibu dan ingat Bapak. Suasana itu. Entah kapan lagi saya bisa bertemu. Berbincang kecil mengenai perjuangan. Sekarang saya bisa diajak diskusi lho, Pak.. Saya sudah besar, dan merasakan sedikit perjuangan sekarang. Walau mungkin tidak sebesar perjuangan Bapak. Ah, kapan lagi ya Pak saya bisa mendengar cerita wayang dari Bapak. Sekarang saya sudah paham lho, Pak.. Tidak lagi mengantuk dan kabur-kaburan kalau Bapak cerita wayang. Sekarang saya malah tergila-gila. Sama Prabu Dewananta? Atau Kitab Bhagawad Gita yang ditinggalkan dirumah. Sekarang saya cari-cari seperti menemukan harta karun.
Sama seperti canting dan malam untuk membatik. Susah sekali dicari di Bandung, Pak. Dapat di Kosambi, tapi harganya mahal sekali.Seperti harta karun.

Pak, sekarang pemerintah masih amburadul. Belum bisa Ibu mengurus surat-surat itu. Apalagi anak-anakmu ini sekarang sibuk sendiri dengan urusan masing-masing. Ibu sekarang sudah tidak naik kereta ke Jatinegara lagi. Ibu berkeliling Bandung sekarang, Pak. Tapi Bandung tidak bersuhu tujuh belas derajat lagi. Sejuk nyaman seperti katamu. Yang terbiasa kedinginan di suhu Kyoto ketika mencuri ilmu dari penjajah kita. Yang lalu minum sake demi menghangatkan badan. Yang lalu suka dimarahi Ibu. Botolnya dibuang semua sama Ibu. Seperti boneka oleh-olehmu dari negara matahari terbit itu. Cantik tapi menyeramkan. Ibu simpan jauh-jauh di gudang paling belakang.

Kakak-kakak sudah pergi kesana, Pak. Ke negeri penjajah itu, malah yang satu mengabadikan diri di depan rumah Jenderal besar yang namanya sama sepertimu. Kesan kuat yang saya tangkap pertama kali ketika mendengar namamu. Jenderal yang katanya berjasa juga untuk negara kita. Ironi dan bijaksana. Kapan saya kesana ya, Pak? 

Foto-fotomu masih disimpan Ibu rapih-rapih. Di lemari cokelat tua milikmu. Masih ingat, Pak? Foto-foto itu buku dongeng favoritku. Membawaku menari-nari menjejak di dalam memorimu. Dulu tak ada internet ya, Pak. Kalau ada mungkin sudah kutelusuri hidupmu lebih dekat lagi. Stalker, istilahnya sekarang.Berbagai tulisan-tulisan harianmu disimpan Ibu. Lebih berharga dari surat-surat pemerintah dan map-map birokrasi itu.


Ah, saya jadi ingat map-map berisikan surat-surat pemerintah itu. Terbengkalai tak terurus karena Ibu terlalu lelah dan kami anak-anakmu terlalu apatis. Bukan hanya apatis sepertinya. Tapi juga sudah tak percaya pada birokrasi. Sampai surat-surat itu tersimpan saja di lemarimu. Pernah Ibu ditawari oleh Pak De Soelasno. Sahabatmu dulu, yang sampai sekarang masih rajin berkendara motor dan mampir ke rumah beberapa kali. Yang membuat kami geleng-geleng melihat ketangguhannya. Tapi Ibu bilang tak perlu kau diberi bintang jasa. Sudah cukup birokrasi menelan kelelahannya.

Ini juga yang mungkin terjadi di luar sana, Pak. Dengan teman-teman seperjuanganmu yang dulu kita temui di Semarang sana. Yang masih menghargai seragam hijau dan topi seperti peci itu. Sampai keriput-keriputnya pun saya masih ingat. Sama sepertimu. Dengan senyum lembut nan bersahaja itu. Senyum khas bapak-bapak tua. Lalu senyum terakhirmu yang kulihat malam itu. Di ruangan rumah sakit itu. Saya rindu sekali padamu, Pak. Saya ingin mencium tanganmu yang keriput itu. Satu-satunya tekstur yang saya ingat dari keseluruhan memori saya tentangmu.Sungguh Pak, kau tak butuh bintang itu. Surat-surat itu biarkan tergeletak di lemari tuamu. Damai sudah bersamamu, Pak. Hadiah dari Tuhan. Setelah lelah kau berjuang. Sama seperti kawan-kawanmu yang lain. Tak perlu kau lihat Presiden kita menangis cengeng dan pajak yang digelapkan. Kelaparan dan kemiskinan yang tak habis-habis. Negara yang carut marut. Sungguh, bintang penghargaan simbolik itu tak sepadan. Tuhan sudah mencatatnya besar-besar di buku agendanya.

Dan lihat anak-anak sekolah itu, Pak? Berseragam merah-putih, biru-putih, abu-putih. Mereka diajari mengheningkan cipta. Diajari memilih pahlawan mereka sendiri. Sama sepertiku. Pahlawanku adalah dirimu. Kini mengheningkan cipta aku. Menunduk aku. Disini. Di tanah tempatku berpijak. Sambil telanjang kaki dan berjuang untuk hidupku sendiri.

Mengheningkan cipta. Mulai.



gambar dari google image


"Kereta kita segera tiba
Di jati negara kita kan berpisah
Berilah nama alamat serta
Esok lusa boleh kita jumpa pula"
[ditulis untuk pahlawan-pahlawanku yang kukenal dari aku kecil sampai mereka menghembuskan nafas terakhirnya.Bapakku Nogi Imam Mintarno,Alm, Pak De Hoegeng Imam Santoso, Alm, Pak De Hutomo Nastap, Alm, Pak Soediro, Alm]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar