Selasa, 30 November 2010

Hari Ketiga Puluh. Awal

Kalau kau kira aku akan menulis dengan gempita di hari ini kau salah. Kalau kau kira aku akan menutup tiga puluh hariku dengan tulisan istimewa kau juga salah. Ini bukan akhir. Ini awal mula. Hari ini aku merayakan seorang sahabat yang segera pergi bebas. Sahabat yang menutup tirakatnya di pinggiran dengan banyak hadiah kemaknaan. Upeti-upeti cantik yang Ia kumpulkan sedikit-demi sedikit. Ini awal untuknya. Awal untukku. Kami berdua. Memulai dari garis tolak yang berbeda. aku start jauh di belakang. Dan kini akan memulai garis start yang Ia  tinggalkan ketika aku ada di belakang. Di hari ketiga puluh ini, aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Siap-siap kakiku yang tak beralas ini bertolak. Bukan menari tapi berlari. Ya, berlari aku kini. Berlari dahulu. Supaya terkejar semua. Baru aku bisa menari. Bukankah mimpi-mimpi selalu ditaruh di depan? Supaya kita bisa mengejarnya. Ditaruh di atas supaya kita  bisa lompat dan meraihnya? Cara berlari dan melompat itu yang kusebut tak beralas kaki. Supaya terasa tanah di bawahnya. Supaya tak lupa kau menapak. Dan merasakan tekstur tanahnya.

Tiga puluh hari dan di sini aku sekarang. Tentu saja tidak akan berhenti menulis. Tidak sampai di sini. Ini bukan akhir. Justru ini awal dari semuanya. Perjalananku benar-benar dibuka. Dan kaki ini sungguh-sungguh tak beralas. Aku merasakan teksturnya. Berbatu-batu. Penuh benang.

Selamat menenun, kawan.

Awal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar