Selasa, 13 April 2010

Memento Mori

Memento mori is a Latin phrase translated as "Remember you must die" (Wikipedia)

Saya anak bungsu yang dilahirkan terlambat. Ibu saya melahirkan saya ketika umurnya hampir 40 tahun. Kakak saya sudah menginjak bangku sma ketika saya baru lihat dunia. Ayah saya, baru saja pensiun dari pekerjaannya. Saya datang di hari tua. Kata orang-orang saya adalah hadiah pensiun untuk orang tua saya. Saya menghindarkan ayah saya dari post-power syndrome. 

Lucu, saya tak mengerti apapun saat itu. Tapi saya selalu heran melihat perbedaan antara saya dan teman-teman saya. Kenapa saya tak pernah bisa bersenang-senang dengan keluarga saya, seperti anak-anak lain, berlibur ke luar kota hingga lelah, atau bermain bersama adik-adik kecil dan kakak-kakak yang masih bisa diajak bercanda bersama.


Kedua orang tua saya sudah terlalu lelah. Kakak-kakak saya sudah terlalu sibuk dengan dunianya masing-masing. Saya bermain bersama kucing-kucing saya di halaman rumah. Kadang mendengarkan ayah saya bercerita tentang pengalamannya berjuang ketika perang. Hal-hal seperti itu yang mengisi masa kecil saya. Tapi perlu diketahui, masa kecil saya luar biasa, keramahan dan kebaikan alami yang pernah saya rasakan sepanjang hidup saya. 

Sedikit waktu itu, lalu saya harus kehilangan ayah saya. Dikala kawan-kawan saya masih hidup dengan keluarga lengkap, saya lihat ayah saya pergi selamanya. Tidak akan ada lagi ayah saya itu di hari-hari saya. Kehilangan ayah ternyata tak sesimpel itu. Ayah bagaikan tiang di sebuah keluarga. Kala tiang itu hilang, ada yang rapuh di bangunannya. Kami harus berusaha menopang badan kami masing-masing supaya tetap kuat. Tidak mungkin ada cerita-cerita saya pergi berlibur dengan keluarga ke pulau Bali atau berjalan-jalan di akhir pekan. Lalu kedua kakak saya yang sudah waktunya berjuang demi hidupnya juga mulai melangkah. Satu persatu mulai merangkai hidupnya sendiri. Saya dan ibu saya berdiri sambil berpegangan tangan, menguatkan satu sama lain. Ibu pasti lebih hancur lagi, karena saya masih tak bisa diharapkan. Masih ingusan dengan setumpuk beban didepan mata. Pastinya ibu saya menanggung semua beban itu di dada. Masih ada yang mengharap bantuannya, belum bisa merangkai hidup sendiri.

Saya tahu kehilangan itu lebih awal dari semua yang saya kenal. Saya sadar bahwa kematian ada di balik punggung kita setiap saat. Mengintip dan siaga kala waktunya datang. Itulah kenapa saya penakut. Saya takut mati. Jujur. Kematian selalu menakuti saya dari saya kecil. Setiap melihat tangan ayah saya yang sudah keriput dan longgar. Setiap melihat ibu dan kelelahannya menanggung hidup. 

Saya tahu kematian itu ada di udara sekitar kita. Siap mencekik kapanpun waktunya tiba. Saya super penakut. Saya tahu itu. Maafkan saya kalau saya paranoid setiap mau menyeberang, atau teriak-teriak kala yang menyupiri kebut-kebutan, atau naik roller coaster. Saya takut akan kematian. Tapi saya lebih takut ditinggal mati.

Sudah berapa kematian menyapa saya. Dua kematian paling besar dalam hidup saya sudah menegur saya. Cukup tertanam di otak saya untuk terus ingat akan mati. 

Saya bersenang-senang, saya kuliah, saya nonton, saya jalan-jalan, saya merayakan ulang tahun, saya bekerja, kematian itu masih ada di balik punggung saya. Tapi mengingat kematian masih belum cukup. Ada rencana besar dibalik semua ini. Saya tahu. Saya yang termuda di keluarga saya. Entah kenapa saya sudah seharusnya terlatih untuk kehilangan.

Tuhan beri saya kehilangan beberapa kali. Latihan kecil dan latihan besar untuk saya. Semoga ketika nanti saatnya datang, saya sudah siap akan semuanya. Dan ketika saya yang hilang kelak saya akan tersenyum. Setelah semua latihan yang saya kerjakan, setelah semua kehilangan yang saya terima. Membayangkan siapa yang kehilangan nantinya. Siapapun itu, saya akan bahagia. Semoga. Ternyata mungkin lebih menyenangkan. Semoga. 

[catatan kecil kala lagi-lagi saya kangen ayah saya..]