Selasa, 30 November 2010

Hari Ketiga Puluh. Awal

Kalau kau kira aku akan menulis dengan gempita di hari ini kau salah. Kalau kau kira aku akan menutup tiga puluh hariku dengan tulisan istimewa kau juga salah. Ini bukan akhir. Ini awal mula. Hari ini aku merayakan seorang sahabat yang segera pergi bebas. Sahabat yang menutup tirakatnya di pinggiran dengan banyak hadiah kemaknaan. Upeti-upeti cantik yang Ia kumpulkan sedikit-demi sedikit. Ini awal untuknya. Awal untukku. Kami berdua. Memulai dari garis tolak yang berbeda. aku start jauh di belakang. Dan kini akan memulai garis start yang Ia  tinggalkan ketika aku ada di belakang. Di hari ketiga puluh ini, aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Siap-siap kakiku yang tak beralas ini bertolak. Bukan menari tapi berlari. Ya, berlari aku kini. Berlari dahulu. Supaya terkejar semua. Baru aku bisa menari. Bukankah mimpi-mimpi selalu ditaruh di depan? Supaya kita bisa mengejarnya. Ditaruh di atas supaya kita  bisa lompat dan meraihnya? Cara berlari dan melompat itu yang kusebut tak beralas kaki. Supaya terasa tanah di bawahnya. Supaya tak lupa kau menapak. Dan merasakan tekstur tanahnya.

Tiga puluh hari dan di sini aku sekarang. Tentu saja tidak akan berhenti menulis. Tidak sampai di sini. Ini bukan akhir. Justru ini awal dari semuanya. Perjalananku benar-benar dibuka. Dan kaki ini sungguh-sungguh tak beralas. Aku merasakan teksturnya. Berbatu-batu. Penuh benang.

Selamat menenun, kawan.

Awal.

Senin, 29 November 2010

Hari Kedua Puluh Sembilan. Telapak Kaki.

Disini, di daerah aku menapakkan kakiku, kulihat banyak macam-macam orang yang sama-sama menapak. Dan sepagian ini sudah kulihat beberapa orang memulai pekerjaannya tanpa alas kaki. Jumlah ini tak sebanding dengan kotaku. Disini mereka tak beralas kaki sungguh-sungguh. Harafiah. Aku bisa memberikan angka-angka bila kau tak percaya. Sepanjang perjalanan, aku melihat dua orang petani, tiga orang tukang genteng, dan seorang tukang gali yang semuanya tidak beralas kaki.

Dua orang petani itu berjalan di aspal panas di pinggir sawah. Maaf, yang satu tidak berjalan, tapi naik sepeda. Tapi tetap tak beralas kaki. Ia mengayuh sepedanya tanpa alas kaki. Kaki-kaki mereka penuh lumpur. Pasti baru naik dari sawahnya. Mungkin dingin tapaknya karena berselimut lumpur di atas aspal kasar yang panas. Jadi tak merasa mereka.

Lalu kulewati tiga orang tukang genteng itu, menuntun sepeda dan membawa keranjang-keranjang penuh genteng merah di sepedanya. Berat. Kelihatannya berat. Mereka tidak beralas kaki. Berjalan menuntun sepeda penuh genteng di atas tanah cokelat becek berbatu dan tidak nyaman. Sama-sama berselimut lumpur tapi mereka tidak dari sawah. Tanahnya memang becek keterlaluan. Luar biasa. Dari aspal panas penuh debu, hanya lewat berapa meter lalu tanah becek penuh lumpur. Aku salut pada ketangguhan kaki mereka. Sakit tergerus aspal kasar, lalu sibuk berlicin-licin ria di tanah becek. Lihat jari-jari kakinya mencengkeram kencang-kencang supaya tak terpeleset ditambah beban genteng pada tuntunannya. Pasti pegal dan lelah rasanya.

Terakhir kulihat seorang tukang gali sedang duduk di pinggir lubang yang baru digalinya. Tanahnya masih sama beceknya. Terlihat jelas, tak beralas kaki merupakan pilihan satu-satunya untuk pekerjaannya. Kakinya sudah terlatih mencengkeram tanah-tanah licin di sela-sela jari kakinya. Tapi kelelahan tetap.

Tak beralas kaki mereka. Di jalanan panas ataupun becek. Dulu orang juga tak beralas kaki. Semua tak beralas kaki. Aku gatal membayangkan bagaimana rasanya menginjak aspal panas itu. Tanah becek itu. Teksturnya di telapak kaki. Panaskah? Kasarkah? Dinginkah? Lembutkah? Sakit? Nyaman?

Kakiku gatal. Menapak di tanah. Tapi tak berani berpanas-panas. Tak mau berbecek-becek. Manja dan pemalas. 


Kaki ingin berlibur, injak pasir dan air laut, atau sekedar selonjor-selonjor bersantai juga tidak apa..

Minggu, 28 November 2010

Hari Kedua Puluh Delapan. Sekilas dari Apotek.

Sore-sore bermatahari di pinggiran kota selalu berdebu. Mari kita tengok sejenak seorang gadis di apotek itu. Duduk termenung menatap aspal. Padahal itu Hari Sabtu. Sore pula. Waktunya kembali ke peradaban. Mimpi sejenak sebelum kembali nyata. Lucu mendapati nyatanya dulu kini menjadi mimpi yang bisa diraih hanya sedikit di ujung minggu. Tapi mimpi selalu menjadi tujuan kan? Pendorong hidup kala kau kehilangan pegangan. Itulah kenapa orang-orang bermimpi. Kini mimpi itu yang ditujunya. Bawanya bergerak melalui semua ini kini. Mimpi-mimpi kecil yang Ia gantung setinggi-tingginya.

Gadis di apotek itu masih duduk. Resah. Kini hujan turun rata. Merapatkan langit. Masih ditunggunya penuntunnya pulang. Yang mungkin sedang kehujanan. Paginya yang cerah. Yang tidak suka hujan. Sama sepertinya. Tidak suka hujan yang membuat mereka tidak bisa piknik. Yang membuat sore-sore mendung dan siang-siang murung, Ah hujan, cepat reda, gadis di apotek semakin resah.

Kakinya menapak erat-erat. Menjejak bumi. Tapi bergaung di kepalanya suara hujan. Gemuruh.

"Tengok belakang"

Dan Ia dijemput.

Sabtu, 27 November 2010

Hari Kedua Puluh Tujuh. Kamu.

Dua puluh tujuh. Angka kesukaannya setelah angka tujuh. Ada apa dengan dua puluh tujuh? Ia menghitung dua puluh tujuh kali.

Kami bertemu dulu.
Menyapa dulu.

Sampai ketemu kami ucapkan bertalu-talu.

Seperti Hari Minggu yang kuberi untukmu.
Rindu..


 

Kamis, 25 November 2010

Hari Kedua Puluh Lima. Rindu Padahal.

Pertengahan minggu selalu menjadi rindu yang menjadi.
Emosi yang menjadi juga.

Sudah berapa kali?
Tak perlu diperpanjang katamu?
Saya tidak memperpanjang.
Tapi saya ingin menyelesaikan.

Daripada terpendam dan menjadi besar.
Kenapa tidak diselesaikan sekarang?

Saya meringkuk.
Lelah.

Rabu, 24 November 2010

Hari Kedua Puluh Empat. Monolog Otak.

Sudah lama otak saya tak dipakai. Berjongkok di pojokan seperti bangkai. Kalau kau tanya otak kanan atau otak kiri. Keduanya sama saja. Kalau tak pernah dipakai otak kanan akan mengajak-ajak otak kiri. Begitu pula sebaliknya. Ongkang-ongkang kaki keenakan dibuai kenyamanan.

Otak saya berdebu, lusuh, dan dekil. Sekarang ketika mau dipakai ngadatnya gila-gilaan. Pusing sekali kepala. Seperti mau pecah. Dipukul benda tumpul dari belakang kepala. Sudah saya bilang saya harus ditempa. Ditinggal sendiri dan dipaksa. Dipaksa supaya otak ini dipakai. Tidak ongkang-ongkang lagi. Jalan hey, otak. Lihat beberapa bulan kedepan akan menentukan hidupmu. Ditinggal dan mesti meninggalkan. Jalan hey, otak! Kamu mau cita-cita itu tidak? Kalau begitu harus dipakai. Jangan terus-terusan hatimu yang dipakai. Bisa mampus kamu lama-lama. Mati. Hati dipakai berpikir. Matilah jadinya.

Otak saya kalah pintar dengan hati. Cih, hati yang mana dulu. Hatimu pun tak kaya-kaya. Memang kau pikir semudah itu. Memang hatimu pintar? Jangan mentang-mentang berpikir dengan hati lalu hatimu jadi pintar dan kaya. Mana buktinya. Kau tetap kosong. Kosong otak dan kosong hati.

Sekarang saya paksa. Saya paksa otak saya bekerja. Karena memang itu tugasnya. Bukan hanya bersantai-santai sambil ongkang-ongkang kaki. Bukankah dulu kamu suka merangkum dan membuat kesimpulan? Mana sekarang buktikan. Kau kaget bukan alang kepalang kan? Setelah melihat kenyataan dengan mata kepala sendiri.

Belajar saja memang tidak sempurna. Mau kau predikat terbaik juga kalau tak pernah kau praktekan dan terjun langsung mana pernah otakmu sekaget ini.

Haha, mending kalau predikat terbaik. Itu pun kamu tak punya. Cih, dasar otak tumpul. Sekarang mampuslah kau. Tertatih-tatih selama beberapa bulan ke depan.

Oke, mari kita lihat. Saya menulis ini untuk menggodamu, tahu. Menggoda supaya kamu berjalan lagi. Saya mau lihat sampai mana ketangguhanmu. Sampai kapan mau bersantai. Berbuat bodoh dan tak berguna. Cepat, jalan!!


Tapi benang, jangan datang ke mimpiku malam ini ya..

Selasa, 23 November 2010

Hari Kedua Puluh Tiga. Warna dan Makna.

Mari bicara tentang warna dan makna kembali. Saya suka pembahasan yang satu ini. Sering hanya lewat di kepala saja. Tapi sungguh kebenarannya saya setujui. Tentang warna-warna yang kosong makna. Tentang makna-makna yang tak berwarna. Keduanya tidak saling memiliki. Lalu dipertanyakan kepada saya. Kamu pilih yang mana?

Kalau kau pilih warna, maka hanya warna itu saja yang kau punya. Maknanya kabur. Hilang.
Kalau kau pilih makna, maka warnanya pupus. Luruh seperti kena air.
Masih pikiran itu di kepalamu?
Masih konservatif seperti itu?

Orang itu pasti menertawakan kamu habis-habisan karena kau memiliki pemikiran itu sedari dulu. Tidak, sayang.. tidak semua begitu. Warna itu bisa saja memiliki makna. Tapi warnanya kemudian akan jadi abu-abu. Tak solid. Warna sekunder. Atau malah tersier? Apapun itu, tetap saja berwarna. Maknanya justru terlihat dari warna-warna yang sekunder dan tersier itu. Tertulis di dalamnya. Yang kau perlukan hanya mengintip. Apa kau lihat makna itu? Intiplah, rasakan sedikit maknanya. Warna-warna itu punya makna. Kau tahu itu.

Makna pun bisa saja berwarna. Walau mungkin maknanya tak menjadi terlalu penting. Seperti kacang melinjo dalam semangkuk sayur asem. Seperti baju hangat tipis di musim panas. Ada atau tidak ada tak akan berpengaruh. Tak akan terlalu digubris. Pandangan sebelah mata sudah cukup. Apapun itu, tetap saja bermakna. Dan warnanya? Ah, inilah perpotongan. Kita kembali. Warnanya sudah pasti abu-abu. Perpotongan. Sekunder dan tersier tersebut.

Saya sempat bingung menulis tentang warna yang sedikit bermakna dan makna yang sedikit berwarna. Bukankah itu sama saja? Saya memaparkan dalam dua paragraf, mencoba membalik. Tapi pada ujungnya itu sama saja. Warna dengan sedikit makna dan makna dengan sedikit warna. Inilah perpotongan. Artinya sama dengan.

Sok bicara matematis padahal tak mahir matematika. Kalau ada bagan lingkaran itu, saya bisa menggambar perpotongan ini. Saya tidak bodoh-bodoh amat kan soal matematik? Mungkin itulah kenapa saya masih bisa hidup sampai saat ini. Mungkin yang kata orang -orang manusia tidak bisa hidup tanpa matematika itu untuk orang-orang yang tidak bisa sama sekali. Nol besar sampai angka pun tak tahu bagaimana bentuknya.

Melantur. 
Mari kembali ke makna dan warna. Yang perpotongannya saya samakan. Hanya dibalik saja. Kau mau pilih mana? Makna dengan sedikit warna, atau warna dengan sedikit makna? Yang perlu kau ketahui, kadang berada di antara terlalu menyebalkan. Kau menjadi membosankan bagi yang penuh warna, dan menjadi tak sempurna bagi si penuh makna. Kau terjebak.


dari sini

Senin, 22 November 2010

Hari Kedua Puluh Dua. Masa Itu. Bagian Dua.

Pagi ini kuhabiskan sisa-sisa kenyamanan yang tersedia. Suplainya tak terbatas. Hanya waktuku yang terbatas. Kulahap bulat-bulat. Kugenggam erat-erat. Tapi pada akhirnya aku harus melepaskannya.Selamat tinggal kenyamanan.

Tidak bisa lagi ya? Kabur dari kenyataan? Lari minggir sejenak dan hanya tertawa-tawa. Yang dicoret hanya absen.Itupun bisa dititip. Hidup tidak berakhir. Kenapa dengan uang? Dulu tidak pernah terpikir seperti ini. Memang segitunya ya? Tidak bisakah hidup?

Dulu otak-otak ini bekerja dengan senang. Lompat-lompat, kelelahan. Tapi senang. Ini sindrom setelah duduk di tempat makan yang lampu dua puluh empat jamnya itu menyala terus sepanjang hari. Ini penyakit kambuhan ketika sudah tidak ada kenyamanan melekat di tubuh. Ini sindrom yang ternyata selalu terdengar dimana-mana.

Jangan bilang kau mau terus belajar. Tak mau praktek? Belajar tanpa praktek seperti menelan tanpa tahu rasa. Jalan saja terus tanpa kau menoleh ke pemandangan sekitar. Beberapa omong kosong mengenai akademisi dan praktisi. Tak ada yang pernah puas. Dasar manusia.

Kali lain kau ingin kabur dari kenyataan cobalah lebih serius. Disertasi ditolak. 

Coba semester depan.


Minggu, 21 November 2010

Hari Kedua Puluh Satu. Tiga Unsur.

Yang muda. Yang tua. Dan tukang tenung. Tiga bagian. Membawa kabar. Ilmiah dan budaya.

Aku mau mati, katanya. Wariskan sedikit padaku.  Jangan kau simpan sendiri.

Aku haus.

Aku lapar.


Aku mau terbang, katanya. Coba mana doanya. Kirimkan padaku.

Aku beriman.

Aku berdosa.



Tapi aku mati, katanya. Lalu dimana doa ini?

Aku tidur.

Aku bangun.



Bicara. Seperti gelembung udara.

Tayamum. Lalu bersujud.

Sabtu, 20 November 2010

Hari Kedua Puluh. Masa Itu.

Aku rindu bicara-bicara teori itu. Aku rindu bicara-bicara dukungan dan malam-malam tanpa tidur. Aku rindu hidup serba apatis dan kericuhan-kericuhan kecil yang aman. Aroma malam-malam kelelahan dengan suka ria dan asap gas kendaraan umum. Tidur dengan punggung tertopang kuat oleh sahabat- sahabat. Sikat gigi yang memang terlupakan. Keramas yang ditunda-tunda. Mandi yang dihitung-hitung. Duduk diskusi kosong di tempat makan perempatan jalan. Yang lampunya menyala dua puluh empat jam. Atau kadang berpindah dengan nyala petromaks di pinggir jalan. Agak sedikit lebih jauh dari si dua puluh empat jam. Dengan kotak-kotak penuh mie dan keju. Cangkir-cangkir penuh idealis dan pikiran-pikiran penuh mimpi.

Jumat, 19 November 2010

Hari Kesembilan Belas. Rindu Dendam.

Lihat sendiri tentang penyanyi legendaris itu. Saya mendengarkan beberapa lagunya akhir-akhir ini. Tak sengaja menemukan kesamaan dalam diam. Nuansanya sama sekali berbeda. Tapi dua kata saya temukan berulang-ulang. Rindu Dendam.

Entah apa maksudnya. Saya berusaha mereka-reka. Kebetulan dari pencipta dan penggubah yang sama. Salah satu putra pemimpin negeri yang saya kagumi. Berulang-ulang saya kenali nuansa itu. Seperti hitam putih milik kakak saya. Berulang-ulang saya baca literaturnya. Saya kagumi bahasa-bahasanya. Saya ingin tinggal di masa itu. Masa-masa hitam putih. Sedikit jiwa saya memanggil. Saya dan nilai kenangan yang tak terhingga. Harta karun saya. Si manusia penuh debu.

Lalu saya cari arti-arti di balik kata-kata itu. Rindu. Dendam.

rin.du



[a] (1) sangat ingin dan berharap benar thd sesuatu: ia -- akan kemerdekaan; (2) memiliki keinginan yg kuat untuk bertemu (hendak pulang ke kampung halaman) : ia -- benar kpd anak-istrinya. 


den.dam
[a] berkeinginan keras untuk membalas (kejahatan dsb)

sumber dari sini.

Apa yang mau disampaikan wahai penyanyi? Miliki rindu tapi juga dendam. Ironi.




1.
Mekar bersemi untaian kasih
Jumpa cinta pertama
Telah tertanam rindu dendam
Semakin dalam
Semakin kelam

Indah cinta berakhir duka
Mengalun sunyi dibuai mimpi

Masa remaja penuhlah sudah
Menjauh dari angan
Merapuh

Ini kucari celah bahagia
Di atas jalan nan penuh duri
Kugapai gapai kasih nan lurus
Engkau kini semakin jauh

Tiada lagi senyum
Lembutmu
Sendiri berjalan di dalam kelam
Kemana arah yang kutuju
Engkau hanyalah bayangan beku

2.
Hanya ini Yang Kucipta Untukmu
Lagu Sederhana Dari Sanubari
Walau Engkau Tak Sudi Menerima
Terimalah ini Kasih
Persembahan Beta Sedih
Lagu Sederhana Hai Tuan
Ingkat Engkau Waktu Kau Menyakiti
Hatiku Yang Putih Telah Kau Nodai
Ketulusanku Telah Kau Aniaya
dan Kudiam Saja
Terimalah Kini Kasih
Persembahan Beta Sedih
Sebagai Balasan Hai Teman

Selamat Tinggal Kau Kelam
Cepat-cepat Sendu Hilang Oh
Yang Kubawa Hanya Rindu Dendam
Kutatap Sinar Gemilang
Cepat-cepat Haru Hilang Oh
Sedangkan Jiwaku Remuk Redam
Lagu Putihku Mendayu
Cepat-cepat Pilu Hilang Oh
dan Kau Masih Tetap Kawanku
Jika Saja Kau Mau Setia
Pada Kebenaranku Yang Tak Tercela
Kupastikan Kisah Kasih Kita Yang Lugu
Di Kalam Pujangga
Terimalah Kini Kasih
Persembahan Beta Sedih
Lagu Putih Murni
Oh Nyali

3.
Surya Tenggelam...



  • Ditelan Kabut Kelam
    Senja Nan Muram...
    Di Hati Remuk Redam

    Malam Mencekam...
    Rembulan Sendu Rawan
    Anak Perawan...
    Menanggung Rindu Dendam


    Jalan Berliku Dalam Kehidupan
    Dua Remaja Kehilangan
    Penawar Rindu Kasih Pujaan
    Menempuh Cobaan

  • lagu : Gita Cinta, Lagu Putih, Kala Surya Tenggelam oleh Chrisye, Alm. 



    gambar dari sini





    Kamis, 18 November 2010

    Hari Kedelapan Belas. Catatan Perjalanan.

    Ruangan itu sempit. Kecil dan pengap. Sekitar dua kali dua meter mungkin. Atau lebih kecil lagi. Entahlah, saya bodoh dalam hal hitung-menghitung. Menjadi-jadi bila disuruh belajar matematika. Pernah ditakut-takuti tak bisa hidup kalau tidak belajar matematika. Buktinya saya masih hidup sampai sekarang. Tanpa mahir matematika sekalipun. Yang pasti ruangan itu sempit. Saya tak bisa memperkirakan luasnya. Wanita itu duduk sendirian disitu. Agen kosong tujuh tiga. Itu alamatnya kini. Sedikit lebih jauh kalau dari arah Pasar Ciparay. Yang kotor, semrawut, dan banyak premannya itu. Berteriak-teriak menawarkan angkutan umum.

    Agen kosong tujuh tiga itu seorang wanita. Terlihat sedikit pucat. Tapi sigap. Dia bekerja seorang diri. Duduk di belakang mejanya. Dengan catatan kuncinya. Deretan daftar nama-nama berbagai propinsi dan daerah di seluruh negeri. Di sampingnya berderet-deret angka-angka untuk modalnya berbisnis. Saya menyerahkan kiriman saya. Dia membuka catatannya.

    Nominal yang Ia sebutkan cukup jauh. Menyadarkan saya bahwa saya tidak sedang berada di kota saya. Sejauh itukah? Dua puluh kilometer. Sekitar. Tak sampai beratus-ratus. Shalat pun masih bisa dikejar. Tapi dari agen kosong tujuh tiga itu terlihat jauh. Memang jauh. Beda kode. Dasar bodoh. 

    Dari ruang kotak sempit itu saya mempercayakan kiriman saya. Semoga sampai di tangan sahabat, itu adalah catatan perjalanan yang saya kirim. 

    Rabu, 17 November 2010

    Hari Ketujuh Belas. Korban. Kurban.

    Hari ini banyak yang bermata pasrah. Bukan manusia.
    Berdarah-darah dibacai doa.
    Kami  memang berserakan, Tuhan.
    Kau mengirimkan pada kami semua.
    Kami kekenyangan, tapi tak berhenti makan.
    Bukan manusia.

    Manusia bermata pasrah itu juga ada.
    Jauh disana. Menanti lapar dan dahaga.
    Berdarah-darah. Tapi tak terlihat.
    Membacakan doa. Terus tak putus-putus.
    Tapi ketakutan terus menerus.
    Kami ketakutan, Tuhan.
    Gemuruh itu belum padam juga.
    Tak cukup diwadahi. Mataharinya sedikit. Wadahnya kosong.
    Langitnya gelap.
    Kami memang berserakan, Tuhan.


    Selasa, 16 November 2010

    Hari Keenam Belas. Catatan Padi, Tanah, dan Air.

    Lagi-lagi terlewat. Sedikit saja aku terlena kenyamanan, aku akan melupakan kewajiban. Sungguh manusia. Kami berserakan, Tuhan. Persis seperti beras di lumbung padi. Bertaburan diangin-angin. Aroma sepanjang perjalanan memang selalu kuhirup. Bau debu, bau asap, bau sampah, bau angin, bau angkot, bau sawah, bau angin. Segala macam bau aku hirup. Bermacam-macam sepanjang perjalanan. Kali ini aku mencium bau sawah. Bau lumpur dan bebek-bebeknya.

    Sawah-sawah hijau berhektar-hektar itu pasti kulewati. Kini tiga bulan menuju panen. Beberapa petani, ibu-ibu, bapak-bapak setiap pagi menunduk menanam padi. Kini hijau sudah terbentang. Hanya masih pendek-pendek. Tiga bulan lagi. Tabungannya akan terisi sedikit lagi. Untuk beli pupuk yang terbaik atau membeli buku tulis baru untuk anaknya. Semoga tercapai cita-citanya. Pendidikan dasar masih enam tahun lagi. Ada beban di pundaknya. Cita-cita bangsa ini. Bangsa yang kaya, kupegang setiap hari kekayaannya, pikirnya. Ia kelola selama setahun tiga kali panen. Ia berikan nasi-nasi itu untuk para buruh. Para pekerja. Akar. Bibit. Walau tak pernah seputih itu. Tapi tanah ini begitu suburnya. Ketika Ia tanam sejumput padi itu setiap empat bulannya, tunggulah maka berbutir-butir beras Ia petik. Lalu ditimbang, dan dihargai. Hartanya. Berbagi sedikit dengan tetangga. Makan dua kali sehari. Ada beban di pundaknya. Cita-cita bangsa ini. Yang Ia tahu namanya. Yang Ia tahu sejarahnya. Hanya tak tahu Ia orang-orangnya. Yang memegang kertas berkop surat dan cap-cap biru serta plat-plat merah datang ke desanya. Memasang papan bernama koperasi dan mengatur hutang serta piutang. Boleh ini dilewati? Saya cuma butuh makan dan buku tulis baru untuk anak saya. Polos. Kosong.

    Memang buku tulis anaknya bertumpuk sudah bercoretan pensil. Pensil kayu. Entah dari hutan mana di negeri ini. Yang kaya. Yang pohonnya tumbuh tak henti-henti. Rimbun. Tapi tunggu lama dari orang-orang menebangnya. Butuh waktu. Dia antara jeda-jeda itulah kalian petik akibatnya sendiri. Mampus diterjang bah. Tanah lumpur berlarut-larut. Seperti pasir. Menutup wajah dan tubuhmu. Manusia diciptakan dari tanah dan kembali ke tanah. Sebelum kau tanda tangani surat-surat dan label-label kecil. Silakan minum dari tanahmu. Nikmati air dinginnya melewati tenggorokanmu. Air yang kaya. Bangsa yang kaya. Berliter-liter cairan kau  miliki. Tapi tak bisa kau pegang. Memang cairan tak mudah dipegang. Ia akan berubah bentuk menyerupai wadahnya. Kini wadahmu tak berbentuk. Mengalirlah Ia mencari celah. Ke tempat yang lebih rendah tapi lebih mudah. Uang, lebih mudah. Kami suka berlibur. Kami suka bersantai. Jadi kalau ada cara mudah mendapatkan itu kenapa tak digunakan saja?

    Negeri ini terlalu indah untuk dipakai bekerja. Pikirkan cara mendapat uang sebanyak-banyaknya tanpa perlu terlalu lelah. Lalu berlibur dan bersantailah. Silakan menikmati matahari negeriku, yang tidak malu-malu. Atau nikmati air-airnya. Mereka juga tidak malu-malu. Siap membawamu. Tenggelam sampai regu penolong muncul. Lupa diri. Lalu kau kembali ke tanah. Negeri ini siap memanjakanmu.


    Selamat datang. Ini surga.



    Senin, 15 November 2010

    Hari Kelima Belas. Senin Pagi.

    Perjalanan satu tiga perempat jamku baru saja selesai. Kehidupan yang kulewati sudah terlintas. Bau padi dan sawah tadi menunggu tiga bulan lagi dipanen. Bebek-bebek tidak kelihatan karena aku kesiangan. Jerami-jeraminya juga sudah dilindas traktor untuk kembali ditanami.

    Pemandangan pagi sebelum aku kembali menapakkan kakiku. Menanti supaya bisa menari di belahan jiwa yang lain. Menanti perjalananku sampai tiba waktunya dijelajahi nanti. Mengumpulkan nyali keping demi keping. Jadi ketika pulang bisa bersiap-siap kakiku menari lagi.

    Senin kuhitung mundur.

    Minggu, 14 November 2010

    Hari Keempat Belas. Kehabisan Tenaga.


    Hari mingguku kulewati lagi. Kehabisan tenaga untuk menulis lagi. Terbuai kenyamanan.
    Aku menari sedikit. Kembali ke tanah sedikit. Lalu meniti langit biru sedikit banyak.
    Halo, Bandung.


    Sabtu, 13 November 2010

    Hari Ketiga Belas. Tuan Langit Pagi.

    Halo Tuan, kamu mungkin baru hadir saat ini. Datang entah darimana. Dari lorong waktu rentang tiga bulan lamanya. Dari pesan-pesan maya yang beterbangan di langit. Dihantar kabel-kabel. Dan pesan singkat seorang teman yang aku juga tidak begitu kenal dekat. Dia beritahu aku, itu kamu. Luar biasa. Bertemulah kita. Halo, Tuan Langit Pagi. Itu kesan yang aku tangkap darimu.

    Langit, karena itu yang kamu tawarkan padaku di awal-awalnya. Pemandangan langit bagus di batas cakrawala. Lalu langit merah yang menari-nari. Lalu langit layang-layang, kamu tunjukkan juga langit-langit biru.  Suka langit, Tuan? Lalu pagi itu kamu tawarkan pula, yang lalu membangunkan aku dari malam-malam membosankan yang aku tinggali untuk merenung. Istilah temanku, menghukum diri sendiri. Ah, tapi ternyata kamu juga mengira seperti itu. Betulkah? Aku sendiri tidak menyadarinya. Aku tidak sadar bahwa aku sedang menghukum diriku sendiri. Ah, menebus dosa tentu bukan begini caranya.

    Tuan Langit Pagi, aku bisa menghitung pertemuan-pertemuan pertama itu. Masih kurang dari jumlah jari di kedua tanganku. Wajahmu pun tak kuingat-ingat. Tapi setiap pagi dunia maya itu membentuk tali. Tali yang semu juga.Tapi setidaknya pesannya tersampaikan. Dengan huruf-huruf tak bernada. Yang akhirnya kita pikirkan sendiri nadanya. Kadang ambigu atau retoris. Ditafsirkan saja sendiri. Berminggu-minggu. Tak kunjung datang. Kamu di kotak birumu. Dan aku di ruang putihku. Jauh berkilo-kilo. Aku masih berorientasi sore dan takut malam ketika kamu tawarkan pagi-pagi milikmu. Menemani kosongku di ruangan dingin tempatku merajut sajadah. Tempatku menjejakkan kakiku tak beralas.

    Tuan Langit Pagi, sekarang ketika kamu datang, kepalaku sudah terlanjur menyusun benteng-benteng pertahanan yang tadinya kubangun untuk diriku sendiri. Kakiku yang tak beralas ini sudah kusiapkan menari sepanjang hari. Teman-temanku kusediakan tempat di penghujung minggu. Aku ingin bersama mereka lagi. Tapi tarianku tidak boleh berhenti juga. Itu naluriku. Jiwaku. Tempatku beristirahat dari segala lelah. Tak rela aku kehilangan itu. Waktuku tak banyak. Dalam benteng-benteng itu sudah aku bangun ruangan-ruangan tersendiri yang hanya aku yang punya kuncinya. Satu ruangan kosong saja yang kusimpan kuncinya jauh-jauh di dasar saku. Itu sebelum kau datang. Kini ruangan itu yang kuncinya paling atas. Siap dibuka kapan saja kau menyapa. Dan benteng-benteng pertahanan itu kini dibagi dua denganmu. Menyusun strategi baru. Tapi ingat, teman-temanku tetap harus kukunjungi. Dan menariku tak boleh sampai berhenti. Nah, bingung kan? Waktuku tak banyak. Jadi bagaimana strateginya?

    Setiap aku pulang, rumahku mengelus kepalaku pelan. Aku meringkuk di perut ibuku. Mencium tangannya. Berbagi rindu dengan darah-darahku, pulang aku menjejak di lantai hangatnya. Duduk aku di kursi bapakku. Itu semua sebentar saja. Sementara itu, benteng-benteng pertahananku harus terus diperkuat. Sekarang berdua denganmu. Aku hanya perlu waktu yang lebih banyak. Dan strategi yang lebih baik. Kesempatan itu padamu, Tuan Langit Pagi? Bantu aku menyusunnya. Supaya aku tidak kehilangan teman-teman sejatiku. Yang aku yakin mereka tidak akan meninggalkanku. Hanya ketakutanku terus menghantuiku, Tuan. Mereka semakin menjauh. Padahal ini hanya aku dan badanku yang tidak sanggup membagi. Hatiku berlari-lari membagi-bagi serpihannya. Mengejar-ngejar mereka di tempatnya masing-masing. Yang di Ibukota. Yang di ujung kota (dekat rumahmu). Bahkan yang tinggal seatap. Mengejar waktu yang tidak kembali dan cerita-cerita yang tidak terbagi dengan mereka semua. Termasuk kamu, Tuan.

    Tadinya aku disini hanya ingin menempa diriku sendiri, Tuan. Supaya ketika kembali nanti aku bisa lebih baik lagi. Menyapa teman-temanku dengan kulit baru. Yang tidak terbuat dari plastik. Yang kupakai menutupi luka-lukaku. Yang ingin kubagi dengan mereka tadinya, tapi tak sanggup aku. Tak mengerti bagaimana menutupi luka tanpa membawa kesedihan dan kemarahan untuk mereka. Maka menyingkirlah aku, Tuan. Menyingkir aku ke pinggiran. Supaya aku bisa membenahi diriku sendiri. Tapi malah semakin jauh rasanya mereka. Setiap kembali, aku ketinggalan banyak cerita dan merasa aku yang berubah. Atau mereka. Atau menariku? Apakah aku salah dengan menariku, Tuan? Katakan kau berdiri menyangga punggungku, Tuan. Aku ingin waktuku bertambah banyak. Supaya sempatkan aku menyapa teman-teman sejatiku. Tapi juga menariku melengkapi jiwaku. Semuanya bersamamu, hai Tuan Langit Pagi. Sudah kuputuskan untuk berbagi ini semua denganmu pula.

    Karena kupercayakan kembali hati ini untukmu, Tuan.
    Kembali aku menjejak di jalan ini.

    Tuan Langit Pagi, tahukah kamu, aku bahkan tak punya kenangan khusus denganmu. Aku si penggila memori dan kenangan ini. Yang tak bisa membuang secuil kertas pun tanpa kutimang-timang nilai kenangannya. Bahkan tak ada nuansa-nuansa itu.  Aku si melankolis sejati ini. Drama queen. Aneh bukan? Teman-temanku pasti terheran-heran. Ah, jangankan teman-temanku. Teman-teman kita. Yang sama-sama mengenal kita di waktu-waktu yang berbeda. Di jejaring laba-laba kota kecil ini. Yang kata Dee, jarak tempuh sejarah kita dari SD, SMP, SMA, bahkan universitas bisa ditempuh dengan waktu kurang dari sejam. Dunia ini sempit. Begitu kata mereka. Ternyata banyak kesempatan kita bertemu sebelumnya. Waktu itu misteri. Tidak di dunia maya. Tidak lewat teman yang tak begitu dekat itu. Tapi malah disana kita bertemu. Dunia ini sempit. Waktu itu relatif. Dan hari minggu itu hanya datang satu kali setiap minggunya.

    Tuan Langit Pagi, baru kemarin-kemarin waktu kita berjalan antara siang dan sore di hujan-hujan (yang membuat repot) lalu kau menghabiskan sore menunggui aku menari, saat itu kutemukan nuansa itu untukmu. Tiba-tiba terlintas di kepalaku. Dengan nada-nada yang tak menarik hatimu. Tapi istimewa bagiku. Dasar aneh, katamu.  Ah, Tuan baru tahu saya aneh. Makanya mungkin saya memilih Tuan. Yang datang entah darimana. Tiba-tiba memenuhi ruangan-ruangan benteng pertahanan saya. Semakin kuat, tapi semakin penuh.

    Ayo sini , pegang kuncinya. Kita susun strategi baru!


    You and I painting rainbows when no rain falls on our wall
    Smelling raindrops on a hilltop as they fall
    You and I laughing loudly with no reasons in our walk
    Chasing sunsets, dancing minuet in the dark


    Jumat, 12 November 2010

    Hari Kedua Belas. Laporan Harian.

    Hai, ini saya lagi. Ini sudah hari keberapa? dia bertanya dalam hatinya.  Dulu, minggu sudah hampir usai, dan dia belum mencuci gelas miliknya. Kini terus-menerus bertanya ini sudah hari keberapa. Sementara kesedihan-kesedihan masih makan di sekitarnya. Lahap, rakus. Tidak kenyang-kenyang mereka. Mata ini menonton mereka berkelliaran berputar-putar seperti monster di sebuah game. Yang tokoh utamanya kuning bulat dengan mulut seperempat tubuhnya sendiri melahap titik-titik berbunyi bip bip bip. Yang kalau makan buah lalu bisa melahap monster-monsternya. Berbalik keadaan. Sayang buahnya hanya tersedia sedikit di setiap sudut permainan itu. Makanya kesedihan-kesedihan itu terus merajalela. Ya, monster-monster itu.

    Sedikit berpikir, apa yang bisa membuat monster-monster itu setidaknya berkurang. Selain makan buah yang hanya sedikit itu. Darahnya tidak cukup banyak untuk memberi makan mereka. Pusing di kepala akan menjadi-jadi kalau itu diambil. Penyakit nenek-nenek kata mereka. Mau diobati berapa kali juga tidak sembuh-sembuh. Tidak mengerti pula bagaimana. Apalagi bila ikut mengajar di pelosok. Tinggal di pinggiran sedikit saja keluhannya sudah sepanjang jarak pulang perginya sendiri. Kamar mandi tak berkran lah. Listrik mati lah. Air mati lah. Polusi lah. ATM jauh lah. Tidak ada mall, bioskop, Mcd. Cih. Standarmu sok tinggi! Lalu empat bulan itu kau hidup darimana? Manusia sih manusia saja. Lihat ibu kost-mu. Keluarganya. Hidup rukun, damai, sejahtera, bahagia. Dengan air yang kau bilang kotor itu. Mereka penyakitan? Bahkan kulitnya lebih bersih darimu. Senyumnya lebih tulus darimu. Dan yang pasti dosanya lebih sedikit dari pejabat-pejabat di luar sana. Yang sedang duduk-duduk di mobil dinas dan tidur di ruangan ber-AC. Mati sih mati saja. Berhenti bernafas. Ditangisi (kalau ada yang menangisi) lalu dikubur di tanah. Selesai. Memang mau apalagi?

    Berpikir lagi, kenapa Ia diberi tahu ini semua. Hey, beruntunglah kau diperlihatkan semua ini!! Lihat orang-orang di sana. Duduk-duduk pengangguran sambil internetan. Minum minuman yang seteguknya belasan ribu, mabuk-mabukan. Cari sepatu berhak tinggi supaya kakinya lebih jenjang. Yang harganya bisa beli beras berliter-liter (beras rakyat tentunya, bukan beras yang dipakai makan sama ikan mentah secuil saja harganya sepeti harga seliter beras--itupun masih kurang nominalnya). Mending kalau uangnya milik sendiri. Silakan dipertanggung jawabkan.

     Dan kau, nih, disodori ini semua di depan mukamu. Dijejali nasi penuh batunya di mulutmu. Yang kalau membelinya harus berdesak-desakan dengan para pekerja pabrik yang lain. Yang mana tahu di ijazahmu tercantum titel sarjana dari institut terbaik di negeri ini (katanya). Atau rekanmu yang distempel cum laude. Butuh makan nasi sebungkus sih sama saja. Disini itu tidak berarti. Polusi yang dihirup sama saja. Pekerja-pekerja itu melirikmu juga sama seperti manusia lainnya. Mungkin bayaran untuk jerih payahmu menempuh pendidikan susah-susah terlihat dari nominal gaji yang hanya kau dan staf accounting yang tahu. Dan ruangan ber-AC yang kadang sedikit terlalu dingin sehingga kau putuskan untuk dimatikan saja. Atau dispenser eksklusif di ruanganmu sendiri. Yang waktu itu pernah seorang pekerja yang sedang hamil tua dibawa supervisor demi mendapat sebotol air karena dispenser massal diluar sana habis airnya. Yang membuat saya berpikir habis-habisan. Di luar ada berapa dispenser untuk berapa orang? Hanya satu ternyata. Dan disini satu galon besar hanya untuk segelintir orang.


    Masih banyakkah yang belum saya lihat? Dasar lemah. Manusia sih manusia saja. Mati sih mati saja. Berhenti bernafas. Ditangisi (kalau ada yang menangisi) lalu dikubur di tanah. Selesai. Memang mau apalagi?


    Silakan dipertanggung jawabkan hey, kamu. Saya tunggu laporannya di meja saya.

    gambar lagi-lagi dari dari Buku "Monggo Mampir : Mengudap Rasa Secara Jogja" oleh Syafaruddin Murbawono

    Kamis, 11 November 2010

    Hari Kesebelas. Matahari Dingin.

    Abu-abu. Dingin. Berangin. Matahari putih. Langit putih. Silau tapi dingin. Terang merata. Perasaan spesial setiap kali tidak tidur semalaman. Ini hanya ada di kepalaku saja sepertinya. Bayangan ini. Jalanan sepi. Cuma ada aku dan orang tak berwajah itu. Masih misteri. Tapi suasana ini. Duduk di bangku bermain matahari dingin di pagi-pagi buta dan berangin. Buta tapi terang. Jam berapa harus kukejar? Antara jam lima atau enam pagi mungkin. Ketika shubuh baru selesai. Sehabis shalat langsung pergi. Dengan denyutan keras di kepala. Mata dingin dan berair tapi segar tersiram matahari yang dingin di jalan-jalan sepi berangin. Pagi-pagi sehabis tidak tidur semalaman. Rasa segar yang spesial sekali. Tenaga cadangan yang selalu siap kala dibutuhkan. Aku kecanduan rasa itu. Tenaga itu. Aku pasti kecanduan berat kalau tidak dihentikan. Adiktif. Untung suasana itu susah dicari. Aku belum bertemu lagi. Tapi ingin sekali aku bertemu lagi. Pagi-pagi kosong itu. Dengan matahari dinginnya. Luar biasa.

    Apakah memoriku sudah mulai berbohong? Klinik hilang ingatan sudah buka kembali? Semua pelajaran ada disitu. Halaman-halamannya masih ada kan? Kamu tidak berbuat bodoh kan? Kamu tidak pergi ke klinik itu kan?

    Memoriku belum berbohong. Dan aku tidak pergi ke klinik itu. Tapi lembaran-lembaran penuh pelajaran itu aku simpan dalam-dalam di koper-koper tua bekas ayahku dan kusimpan di lemari tinggi di kamarku. Lemari yang tinggi sehingga aku tidak bisa mengambilnya tanpa bantuan kakakku. Walau kopernya masih bisa kulihat mengintip malu-malu dari balik lemari. Di dalamnya ada setumpuk memori itu. Dia tidak berbohong. Memoriku belum berbohong padaku, atau tidak akan? Tidak bisa? Tapi dia tidak berani pula menunjukkan dirinya padaku. Ia bersembunyi di balik lemari tinggi. Di balik koper-koper tua. Mengintip saja sedikit. Dan aku tidak mengusiknya. Memori itu. TIdak kuusik sedikit pun. Walau kadang dia yang mengintip itu kulirik balik. Lalu kami sedikit bermain mata. Air mata. Kadang menetes. Kadang membeku.

    Tutup mataku. Mana kain penutup mataku. Aku kehilangan kain itu sudah hampir setahun lalu. Ketika mataku harus dibuka, ketika silau matahari tepat jatuh ke kornea. Buta sejenak. Aku suka matahari. Walaupun membuatku buta saking silaunya. Aku tidak suka hujan. Aku lebih suka matahari. Aku suka matahari. Aku suka berkeringat di panas matahari dibanding menggigil kedinginan karena kehujanan. Aku suka sensasi sinar matahari yang jatuh di balik kelopak mataku yang menutup. Yang ketika dibuka kau jadi tidak bisa melihat apa-apa dan garis matamu hanya satu garis lurus. Sipit-sipit menghindari sinarnya.

    Abu-abu. Masih abu-abu. Mungkin aku sebenarnya memang manusia pagi. Tapi pagi sebelum matahari hangat muncul. Pagi ketika yang muncul masih matahari dingin. Putih. Terang. Tapi dingin. Pagi sehabis tidak tidur semalaman. Lalu keluar sekitar pukul lima atau enam. Tepat sehabis shalat shubuh. Ya, pagi-pagi seperti itu. Dingin dan abu-abu. Itu aku. Aku kecanduan.



    gambar dari Film Eternal Sunshine Of The Spotless Mind
    Clementine Kruczynski  has had Joel Barish erased from her memory. Please never mention their relationship to her again.  Thank you

    Rabu, 10 November 2010

    Hari Kesepuluh. Sepuluh November.

    Pak, hari ini Sepuluh November.
    Saya mendengarkan Juwita Malam berulang-ulang. Saya ingat guratan-guratan kulit keriput Bapak menyentuh wajah saya. Waktu itu di sebuah hotel di Kota Semarang. Kenangan perjalanan jauh bersama Bapak Ibu. Saya lupa umur berapa waktu itu. Saya tidak tahu untuk apa kita pergi ke Semarang. Tapi disana saya lihat banyak kulit-kulit keriput seperti Bapak di hotel itu. Dan topi seperti peci berwarna oranye. Saya ingat kami pergi naik mobil corona putih D 403 BV. Berkendara dari Bandung menuju Semarang. Bersama seorang sahabat Bapak, Pak Soediro Almarhum. Yang tangan keriputnya saya suka. Lebih kekar sedikit daripada Bapak. Terlihat kuat. Tapi bagaimanapun Bapak tetap favorit saya.

    Ibu dulu suka pakai kain dan kebaya ya, Pak. Tapi kala itu sudah tidak sepertinya. Saya ingat suka mendengarkan kisah Ibu mengejar kereta ke Jatinegara untuk kuliah. Di kampus UI tahun 1966. Ikut pergerakan mahasiswa kala itu. Jam malam diberlakukan untuk mereka. Terbayang tidak bisa keluyuran malam-malam. Ibu harus mengejar kereta supaya sampai di Bandung tepat waktu. Ditunggu Bapak di rumah.

    Memori saya campur aduk, Pak. Hampir menghabiskan baterai ponsel demi mendengar sedikit keroncong. Supaya memoriku terus berjalan mundur. Dimulai dari keriput di tangan Bapak. Tapi susunannya mulai berantakan. Ingat Ibu dan ingat Bapak. Suasana itu. Entah kapan lagi saya bisa bertemu. Berbincang kecil mengenai perjuangan. Sekarang saya bisa diajak diskusi lho, Pak.. Saya sudah besar, dan merasakan sedikit perjuangan sekarang. Walau mungkin tidak sebesar perjuangan Bapak. Ah, kapan lagi ya Pak saya bisa mendengar cerita wayang dari Bapak. Sekarang saya sudah paham lho, Pak.. Tidak lagi mengantuk dan kabur-kaburan kalau Bapak cerita wayang. Sekarang saya malah tergila-gila. Sama Prabu Dewananta? Atau Kitab Bhagawad Gita yang ditinggalkan dirumah. Sekarang saya cari-cari seperti menemukan harta karun.
    Sama seperti canting dan malam untuk membatik. Susah sekali dicari di Bandung, Pak. Dapat di Kosambi, tapi harganya mahal sekali.Seperti harta karun.

    Pak, sekarang pemerintah masih amburadul. Belum bisa Ibu mengurus surat-surat itu. Apalagi anak-anakmu ini sekarang sibuk sendiri dengan urusan masing-masing. Ibu sekarang sudah tidak naik kereta ke Jatinegara lagi. Ibu berkeliling Bandung sekarang, Pak. Tapi Bandung tidak bersuhu tujuh belas derajat lagi. Sejuk nyaman seperti katamu. Yang terbiasa kedinginan di suhu Kyoto ketika mencuri ilmu dari penjajah kita. Yang lalu minum sake demi menghangatkan badan. Yang lalu suka dimarahi Ibu. Botolnya dibuang semua sama Ibu. Seperti boneka oleh-olehmu dari negara matahari terbit itu. Cantik tapi menyeramkan. Ibu simpan jauh-jauh di gudang paling belakang.

    Kakak-kakak sudah pergi kesana, Pak. Ke negeri penjajah itu, malah yang satu mengabadikan diri di depan rumah Jenderal besar yang namanya sama sepertimu. Kesan kuat yang saya tangkap pertama kali ketika mendengar namamu. Jenderal yang katanya berjasa juga untuk negara kita. Ironi dan bijaksana. Kapan saya kesana ya, Pak? 

    Foto-fotomu masih disimpan Ibu rapih-rapih. Di lemari cokelat tua milikmu. Masih ingat, Pak? Foto-foto itu buku dongeng favoritku. Membawaku menari-nari menjejak di dalam memorimu. Dulu tak ada internet ya, Pak. Kalau ada mungkin sudah kutelusuri hidupmu lebih dekat lagi. Stalker, istilahnya sekarang.Berbagai tulisan-tulisan harianmu disimpan Ibu. Lebih berharga dari surat-surat pemerintah dan map-map birokrasi itu.


    Ah, saya jadi ingat map-map berisikan surat-surat pemerintah itu. Terbengkalai tak terurus karena Ibu terlalu lelah dan kami anak-anakmu terlalu apatis. Bukan hanya apatis sepertinya. Tapi juga sudah tak percaya pada birokrasi. Sampai surat-surat itu tersimpan saja di lemarimu. Pernah Ibu ditawari oleh Pak De Soelasno. Sahabatmu dulu, yang sampai sekarang masih rajin berkendara motor dan mampir ke rumah beberapa kali. Yang membuat kami geleng-geleng melihat ketangguhannya. Tapi Ibu bilang tak perlu kau diberi bintang jasa. Sudah cukup birokrasi menelan kelelahannya.

    Ini juga yang mungkin terjadi di luar sana, Pak. Dengan teman-teman seperjuanganmu yang dulu kita temui di Semarang sana. Yang masih menghargai seragam hijau dan topi seperti peci itu. Sampai keriput-keriputnya pun saya masih ingat. Sama sepertimu. Dengan senyum lembut nan bersahaja itu. Senyum khas bapak-bapak tua. Lalu senyum terakhirmu yang kulihat malam itu. Di ruangan rumah sakit itu. Saya rindu sekali padamu, Pak. Saya ingin mencium tanganmu yang keriput itu. Satu-satunya tekstur yang saya ingat dari keseluruhan memori saya tentangmu.Sungguh Pak, kau tak butuh bintang itu. Surat-surat itu biarkan tergeletak di lemari tuamu. Damai sudah bersamamu, Pak. Hadiah dari Tuhan. Setelah lelah kau berjuang. Sama seperti kawan-kawanmu yang lain. Tak perlu kau lihat Presiden kita menangis cengeng dan pajak yang digelapkan. Kelaparan dan kemiskinan yang tak habis-habis. Negara yang carut marut. Sungguh, bintang penghargaan simbolik itu tak sepadan. Tuhan sudah mencatatnya besar-besar di buku agendanya.

    Dan lihat anak-anak sekolah itu, Pak? Berseragam merah-putih, biru-putih, abu-putih. Mereka diajari mengheningkan cipta. Diajari memilih pahlawan mereka sendiri. Sama sepertiku. Pahlawanku adalah dirimu. Kini mengheningkan cipta aku. Menunduk aku. Disini. Di tanah tempatku berpijak. Sambil telanjang kaki dan berjuang untuk hidupku sendiri.

    Mengheningkan cipta. Mulai.



    gambar dari google image


    "Kereta kita segera tiba
    Di jati negara kita kan berpisah
    Berilah nama alamat serta
    Esok lusa boleh kita jumpa pula"
    [ditulis untuk pahlawan-pahlawanku yang kukenal dari aku kecil sampai mereka menghembuskan nafas terakhirnya.Bapakku Nogi Imam Mintarno,Alm, Pak De Hoegeng Imam Santoso, Alm, Pak De Hutomo Nastap, Alm, Pak Soediro, Alm]

    Selasa, 09 November 2010

    Hari Kesembilan. Tentang Akar.

    Akar berulang tahun hari ini.
    Bagaimanapun Ia tetap akar bagi saya. yang mengajarkan kesunyian dan diam. Sampai saya buatkan buku khusus kesunyian untuknya. Siapa tahu Ia mau menulis atau menggambarkan tentang kesuyian-kesunyian yang Ia pelajari. Ia bisa pakai buku kesunyian itu. Dengan sampul hitam yang saya sendiri bingung mau ditambah apalagi. Karena sunyi itu hitam bagi saya. Dangkal memang. Tapi tak ada yang sanggup menggambarkan kesunyian lagi selain kekosongan. Saya bingung mau menambah apa pada sampulnya. Saya takut kesunyian itu terganggu. Jadi ramai. Dan akar tidak suka keramaian. Maafkan pengetahuan saya. Itu hadiah ulang tahun setahun yang lalu.

    Masih ingat kala-kala kami membahas kesunyian di lapangan rumput hijau itu. Duduk sepulangnya saya dari kota hayat saya. Miniatur Borobudur buah tangan saya. Padahal saya perginya ke Prambanan. Aneh, tapi saya ingin menceritakan cerita kereta-kereta itu padanya. Kesan kuat yang dia bawa. Seperti penerbangan Parahyangan yang terakhir. Yang saya lewatkan. Tapi Ia tangkap. Kereta lagi-kereta lagi. Tapi saya selalu suka kereta api. Dan pesan-pesan yang saya kirimkan di atas kereta api. Salam untuk setiap kota yang saya lewati. Kini mereka berselimut debu Merapi. Kotak harta karun itu. Kenangan di bawah sadar saya. Ikatan batin saya yang saya sendiri tidak tahu datangnya darimana.

    Akar ini membawa imajinasi-imajinasi itu. Entah karena kesunyiannya atau karena kekosongannya. Ia tetap akar bagi saya. Entah kenapa kesan itu melekat erat padanya. Diskusi malam-malam sepulang menonton di bawah pohon. Membahas tentang kesunyian yang nyaman. Tak pernah saya mendengar akar berbicara sebanyak itu. Saya berharap akar segera menemukan kesunyian yang nyaman itu. Karena kesunyian saya milik saya sendiri. Akar tidak akan bisa merebutnya sampai Ia memutuskan kesepiannya sendiri. Bicara apa saya ini. Hanya kekosongan yang keluar. Saya mengira-ngira hal yang tak pernah terjadi. Akar pasti tertawa. Ini teori busuk yang tidak akan pernah Ia percayai. Kosong itu absolut kan? Jangan tertawa. Saya menungggu-nunggu saatmu datang, hey akar!! 

    Ayo cepat tumbuh. Supaya saya bisa mencuri sedikit buah kesunyianmu. Dengan bibit-bibit kesepian yang disebar di sekelilingnya. Dan akar masih berkarya. Sibuk sendiri.

    Selamat ulang tahun, Akar. Ini saya menari.



    gambar dari film Under The Tree oleh Garin Nugroho

    Senin, 08 November 2010

    Hari Kedelapan. Hadiah Kecil.

    Beberapa waktu lalu, yang kira-kira sudah lama sekali, saya pernah menulis ini. Kala itu sedikit luka tidak mempan pada saya. Luka besar menganga pada saya. Persis sundel bolong. Lalu kala itu seorang sahabat memberikan saya sebuah stiker —atau gambar tempel bila anda tak berbahasa serapan—. Stiker tersebut sederhana, tapi menurut saya memberikan stiker itu pada saya saat itu merupakan tindakan yang paling tepat. Dan paling tulus…

    Saya terharu membaca tulisan di stiker itu. Dan saya tertawa melihat gambarnya. Saya baru ingat lagi kalau sebuah bintang laut ketika bagian tubuhnya patah dapat tumbuh kembali. Dan itu merupakan hal yang alami. Lalu saya bertanya pada diri saya sendiri, apakah Tuhan memang mengatur semua makhlukNya agar ketika Ia terluka, maka luka itu akan sembuh dengan sendirinya.

    Seperti cicak jika ditangkap akan memutuskan ekornya karena Ia tahu ekornya akan tumbuh kembali? Seperti kecoa yang walaupun tanpa kepala masih bisa hidup? Seperti bayi yang belajar jalan, apabila Ia terjatuh maka Ia akan mencoba berdiri lagi? Dan saya juga baru ingat bahwa luka di tubuh manusia pun lama-lama akan menutup, mengering dan kemudian hanya meninggalkan bekas saja dan terkadang bekas itupun hilang dengan sendirinya.
    Lalu saya melihat luka saya, yang saat ini hanya tinggal bekasnya. Sedikit lagi. Dan saat saya melihat stiker itu, saya merasa seperti diolesi acyclovir, salep penghilang bekas luka…

    Dan sekarang saya mendapat si bagian tubuh yang patah itu. Tumbuh kembali. Persis bintang laut. 



    Apakah anda tahu betapa kata-kata dapat menjadi pisau sekaligus sayap bagi anda sendiri?
    [thx to nenek kedondong, one little thing lead to a bigger one…]

    (Tulisan ini ditulis sekitar tahun 2008. Diubah sedikit-sedikit sebagai penyesuaian)

    Minggu, 07 November 2010

    Hari Ketujuh. Yang Terlewat.

    Ah, hari ini terlewat olehku. Tergerus lelah kala menghadiri salah satu temanku melepas lajang. Sudah berapa tahun terlewati? Lagi-lagi inkubasi berbicara. Terpantaukah? Selama ini terpaku mimpi-mimpi. Masihkah kupegang?

    Tidak, minggu-minggu lalu aku menanggalkannya. Lalu setelah itu otakku terhipnotis. Sedikit saja. Karena sekarang rasioku harus berjalan. Tidak, tidak seperti dulu. Otakku menyiapkan pertahanan dirinya. Siap berdebat. Siap berkelit. Tapi keledai memang keledai. Dia tidak bisa berlari lebih cepat daripada kuda. Suka membuat kesalahan yang sama pula. Dasar bodoh. Tapi percayaku harus kupegang. Tidak ada pegangan yang lebih kuat selain kepercayaan.

    Memang selama ini kau memegang apa, hey? Kepercayaan itu tidur pulas jugakah? Mati suri-kah? Jangan percaya statistik, kata akar. Tapi toh aku cuma percaya Tuhan. Bukan atheis, aku juga tidak agnostik. Sedikit chauvinis mungkin. Tapi aku percaya Tuhan. Dan separuh jiwaku itu ibuku.

    Jadi, cukupkan aku hidup hari ini. Aku mau tidur.
    Dan cukup barang-barang ini untuk bertahan hidup. Menonton aku terlelap tidur di atas dipan kayu yang kubawa dari rumahku. Airnya masih belum nyala kala itu. Dan aku masih tayamum.


    Sabtu, 06 November 2010

    Hari keenam. Cuplikan memori.

    Hari  itu panas, dia berjalan kesusahan membawa tas beratnya. Entah kebiasaan dari mana, ia tak pernah bisa tidak membawa berbagai macam benda dalam tasnya. Kupikir mungkin kebiasaan itu dari ibunya. Ia selalu membawa tas besar dan berat. Kalau dia bawa tas kecil, pastilah bentuknya seperti gumpalan kain yang  biasa dipikul tukang jamu. Gembolan, istilahnya. Kakinya dengan sepatu kets biru favoritnya saling beradu. Sedikit-sedikit tersandung. Sedikit-sedikit terseret. Tugas reka bahannya dalam tas plastik besar dipegang erat-erat di tangan kanan. Rambutnya sedikit berantakan sisa tidak tidur semalaman. Menyeberang sendiri butuh waktu setengah jam untuknya. Apalagi di pertigaan situ. Mampus.

    Image board
    , sudah.
    Produk, sudah.
    Eksplorasi, ---dia memutar bola matanya--sudah dimanipulasi. Hehe.
    Lampu merah tidak berguna. Angkot berhenti seenaknya. Ah, gimana ini nyebrangnyaaa... Sedikit panik Ia melangkah ragu-ragu. Lagi-lagi berbagai bayangan mengerikan muncul di kepalanya. Paranoid sendiri, mundur lagi. PAYAH!! Menyebrang heiii..sudah waktunya kamu masuk kelas untuk UAS!! Seorang pemuda turun dari angkot. Sesama mahasiswa. Mau menyebrang juga. Ah, sedikit lega, Ia ngekor di belakangnya. Sip, makasih mas tak dikenal, saya jadi bisa menyebrang, batinnya.

    Tetap saja terlambat. Ia berdoa mati-matian supaya dosennya terlambat. Ah, dimana kuliahnya. Kelas lama atau kelas baru? Sms-sms, tahu-tahu sudah di depan gerbang jurusannya. Ya sudah sekalian lewat, pikirnya. Namun,tiba-tiba tekanan itu datang lagi. Sindrom otak kerdilnya jalan terus. Bodoh persis keledai. Ini kan tempat kuliahmu. Kenapa kamu ketakutan begitu sih? Takut dosenmu? Yah, wajar sih, kamu kan terlambat. Tapi bukan. Mahasiswa tidak tahu diri. Sudah terlambat tapi yang ditakutan bukan dosennya. Ah, kalau bisa ingin ke kelas baru saja. Jangan yang lama. Tapi yang lama memang harus dilewati sih, kalau kau tidak mau ketinggalan display.

    DISPLAY??!!Oh, Tuhaann..sudah pasti Ia ketinggalan memilih tempat display. Oke, dimana saja jadilah. Yang penting produknya nampang buat UAS. Sudah susah-susah dibuat juga. Lama-lama Ia bisa bangkrut juga. Geleng-geleng kepala Ia melewati kelas lama. Ternyata disitu UAS yang dinanti-nanti. Meja sudah dipakai semua. Oke, satu, dua, tiga, hmm..beberapa kawannya juga ada yang belum datang tampaknya. Dosen seperti biasa tidak bisa diprediksi kapan datangnya. Tunggu ketua kelas saja yang mengumumkan (sungguh mahasiswa pengekor dan cari aman). Dan peluangnya untuk bisa memasang displaynya cukup baik. 50-50. Lucky bastard, pikirnya sambil senyum-senyum sendiri lalu mulai membentangkan kain alas di dua kursi yang dijadikan satu (nasib mahasiswa terlambat, jangan ditiru) di celah seadanya di antara meja-meja dengan display megah karya kawan-kawannya yang datang lebih dulu.

    Jarum pentul, double tape, tempel sana, tempel sini, tusuk sana, tusuk sini. Image board dipasang, hasil eksplorasi dipamerkan, produk akhir dipajang. Setelah perjuangan beberapa bulan, walau tetap saja diselesaikan semalaman. Akhirnya, horee selesai!!

    Nah,sekarang sambil tunggu dosen, mari kita ke kantin tetangga. Teh kotak dingin pasti menyegarkan. Rasa melayang karena belum tidur semalaman sebenarnya cukup menyenangkan. Sensasinya seperti ada sesuatu yang penting akan terjadi (UAS adalah salah satu contohnya). Ditambah kotak dingin rasanya jadi dua kali lebih menyenangkan. Tapi tetap saja otak kerdilnya yang bicara. Ketakutan-ketakutan tak jelas yang membayangi benaknya. Ia sendiri tidak mengerti. Seperti berada di dalam pertunjukkan sirkus untuk melihat binatang-binatang sirkus kesukaanmu, tapi kau sebenarnya takut pada badut-badut sirkus tersebut.  Begitu rasanya. Entahlah. Tidak bisa menemukan analogi yang lebih baik. Sudahlah lupakan, dosennya sudah mau datang kata si ketua kelas. Yang sedang di kantin tetangga kembali sambil membawa jajanan. Dasar cewek.

    Teman-teman terlambatnya sudah berdisplay-ria juga. Macam-macam. Ada yang di celah-celah meja juga. Ada yang di atas base dadakan. Ada yang di pojokan, sedikit maksa. Yah, siapa cepat dia dapat, kawan. Tertawa miris si terlambat-terlambat ini. Produk yang diandalkan sekarang. Ketika penilaian berlangsung. Bergosip-bergosip-bergosip. Dasar cewek.

    Berapa menit berlalu? dua puluh menit? sepuluh menit? setengah jam? Nilai-nilai bermunculan, disebutkan satu persatu. Dia tersenyum. Sama seperti yang lainnya. Ah, ini seperti menyaksikan film sadis. Menyebalkan melihat darah-darah bertebaran, tapi tetap saja ditonton. Apalagi kalau sutradaranya terkenal. Quentin Tarantino misalnya. Kill Bill. Sadis tapi artistik. Ah, apalah itu. Yang pasti kau ketagihan menontonnya. Sama seperti itu. Kau simpan saat nilai-nilai UAS itu bertebaran untuk kau bawa saat ini. Produk-produk itu. Apa kau akan membuatnya lagi? Ilmu terapan. Jangan karena modal. Mampus kau nanti.


    [Tulisan berdasarkan kisah nyata. Ditulis dengan memori tercampur-campur antara reka bahan I dan II. Lampu atau tas-kalung. Momen yang ditangkap adalah sedikit jam-jam kepanikan sebelum display setiap kali UAS.Ironi.]





    Jumat, 05 November 2010

    Hari Kelima. Mencoba Sarkastik?

    Maaf, Ia tidak hidup seperti Anda.
    Maaf, Ia tidak mencatat berlibur ke Sidney, Paris, atau bahkan Singapur kedalam jadwal liburannya. Tapi Ia menaruh Yogja dan Bali dalam jadwal liburannya agar bisa berlatih menari, sisanya berdiam di rumah.
    Maaf, Ia tidak merokok, paru-parunya sudah penuh dengan asap Anda
    Maaf, Ia tidak minum-minuman aneh-aneh yang Anda sebutkan jenis-jenisnya itu kemarin malam. Yang tugasnya memberi warna pada kepala kosong.
    Maaf, Ia bukan musisi, bukan artis, ataupun model yang cantik, gaya, dan tampil di panggung besar dengan efek pencahayaan spektakuler. Ia seorang penari tradisional. Pencahayaan yang dipakai temaram dan bersahaja. Penontonnya tertib dan sopan.
    Maaf, Ia tidak mendengarkan jenis musik Anda.
    Maaf, Ia tidak seberani dan sekuat itu. Tapi Ia punya prinsipnya sendiri, itulah kenapa Ia masih tidak berkenan terhadap Anda dan apa yang telah Anda lakukan terhadapnya.
    Maaf, Ia tidak kenal banyak teman-teman Anda. Yang lampu-lampu kelilipan di balik punggung-punggungnya.
    Maaf, Ia tidak tinggal dan tumbuh di kota besar. Ia hanya dibesarkan di kota berjaring laba-laba ini, dengan keteraturan Jawa yang sederhana. Kesopanan yang paling murni dari Ayah dan Ibunya.
    Maaf, sekarang Ia tinggal di daerah pinggiran kota. Pelosok. Yang setiap pulang harus berdesakan dalam kendaraan rakyat. Meninggalkan zona nyamannya dan mengerjakan pekerjaannya.
    Maaf, Ia belum punya mobil sendiri. Tidak menambah-nambah polusi dan kemacetan.
    Maaf, Ia tidak punya banyak kata dalam bahasa Inggris. Karena Ia orang Indonesia, dan suka menulis dengan bahasanya sendiri.
    Maaf, kalau Ia tidak sepintar itu, tidak seaktif itu, dan tidak punya banyak teman-teman keren yang hidupnya seperti Anda juga.

    Ya, Ia tidak hidup seperti Anda, hanya informasi tambahan saja.

    Terima kasih.


    gambar dari Buku "Monggo Mampir : Mengudap Rasa Secara Jogja" oleh Syafaruddin Murbawono

    Kamis, 04 November 2010

    Hari Keempat. Hegarmanah.

    Masih ingat rasanya kakiku menapak di rumput-rumput basah Hegarmanah. Jalan yang kuingat merupakan nama salah satu pahlawan revolusi. Kapten Tendean. Izinkan aku bernostalgia sedikit, mungkin akan membuatku sedikit ceria. Seperti namaku. Seperti kata pacarku.

    Waktu itu kaki-kaki kecilku masih muda, sayangnya belum mulai menari. Baru langkah-langkah kecil cha-cha yang diajari Pak De Hutomo Nastap Almarhum. Sebelum kaki-kaki itu menginjak pedal-pedal organ yang tipe dan merknya aku lupa. Hadiah ulang tahun waktu umurku menginjak delapan tahun. Ketika aku masih merasa sayang meninggalkan pohon-pohon pinus segar di Hegarmanah. Tegel-tegel kuning di lantai rumah. Kamar mandi yang sangat aku suka penataannya. Rumah masa kecilku yang saat ini selalu kuanggap dongeng saking indahnya.

    Halaman besar hampir setengah lapangan bola. Dengan rumput gajah hijau favoritku. Bukan, bukan rumput halus yang tajam-tajam itu. Hanya rumput biasa di atas tanah basah penuh embun. Kakiku telanjang merasakan teksturnya. Pohon-pohon cempaka dengan kayu-kayu berurat. Yang bunganya wangi setiap Malam Jumat. Tapi wanginya aku suka. Sampai-sampai ibuku khawatir, tapi tak pernah beri tahu tentang bangku semen di pojok halaman itu. Aku sering bermain disitu. Itu taman bermainku.

    Rumah beratap sirap itu menaungiku sekitar tujuh atau delapan tahun. Selain tegel kuningnya, yang paling kuingat daun pintu depannya yang besar, berwarna biru, dengan tekstur garis-garis dan dibawahnya ada lubang panjang sebesar lipatan koran. Pintu itu tidak pernah dikunci seingatku. Tempat peraduanku kala Ibu berangkat kerja. Aku menangis disitu sampai tertidur. Sampai ayahku akan mengangkatku masuk.

    Jendela di kamar ayahku juga besar dari kayu. Dibuka sisi kanan dan kiri dan kau akan melihat pemandangan deretan pinus berjajar di depan rumahku. Pohon nangka, pohon alpukat, pohon jambu, sampai pohon kelapa semua ada. Tanah tinggi seperti bukit-bukitan, undak-undakan kecil seperti tangga mainan, atau kubangan lumpur kala hujan datang. Mereka taman bermainku dan Ayah.

    Sampai itu semua aku tukarkan dengan sekantong penuh koin bermain di Kings. Demi roller coaster kacangan yang sampai sekarang aku cuma berani naik itu. Padahal untuk kesana aku tak suka. Berdesak- desak orang dan penuh debu. Tapi ada surga kecil di atasnya. Yang sekarang sudah lapuk dimakan usia. Dan aku menukarkan taman bermainku yang paling berharga. Dasar anak kecil bodoh. Tapi toh itu hanya bentuk kompensasi dari Ayah dan Ibu. Atas Pajak Bumi dan Bangunan yang kian mencekik. Akhirnya memang tanah-tanah tinggi dan pohon cempaka tempat bermainku harus ditutup marmer mewah punya orang seberang. Rumah norak, kataku waktu itu. Tingkat tiga dan tinggi. Padahal cukup beri aku rumah bertegel kuning bau kertas tua dengan bangku semen kosong di pojok halamannya.

    Entah kemana penghuninya pergi. Kami berpencar. Suatu hari akan kukembalikan rumah itu. Akan kubuat taman bermain untuk anakku kelak. Yang akan menginjak rumput-rumput basahnya sambil menari Jawa.

    Pratikele wong akrami
    Dudu brono dudu rupo
    Among ati pawitane
    Keno pisan luput pisan
    Yen gampang luwih gampang
    Yen angel, angel kelangkung
    Tan keno tinambak arto

    Rabu, 03 November 2010

    Hari Ketiga. Cuplikan Film.

    Ini hari ketiga. Pikiran-pikiran ini-jalan-yang-dia-pilih-terus menerus disini. Berdiam diri bersama beberapa orang lainnya. Mereka yang memilih untuk bisa hidup dengan perjuangan yang sedikit lebih dari yang lain. Hmm, perjuangan yang sedikit lebih atau memang tidak ada jalan lain di negara ini. Berbatas ijazah dan surat-surat. Apapun itu. Jalan memutar, kata temannya. Memang dia yang aneh, atau entah bagaimana. Dia sendiri tidak bisa menjawab. Memilih jalan yang sulit di tengah berbagai kemudahan.

    Jalan memutar memang. Ah, tapi untuk menuju kesini dia melihat banyak kehidupan. Dia lihat kelelahan orang-orang. Pekerja-pekerja yang keluar di jam yang sama. Massal dan seragam. Berebut sebungkus nasi dengan para pekerja berbaju biru. Di pinggir jalan berdebu dan penuh truk. Dilirik buruh-buruh yang kebosanan dan kelelahan. Bau matahari. Debu. Oli mesin. Polusi suara sampai kepalanya berdentum-dentum keras. Pusing. Apalagi kalau sedang sakit gigi. Mau mampus rasanya.

    Jam-jam di kartu absennya, merah dan hitam. Terlambat atau kepagian. Permisi Pak Bos, saya numpang mandi, air di rumah saya mati. Dia mengikat diri dengan kamar mandi di ruangannya. Tergantung berhari-hari. Hidup seminggu tanpa air sendiri. Jadi tahu bagaimana rasanya. Bukan penonton lagi Ia. Segala rutinitas yang dilakukan setiap hari. Seperti adegan sebuah film. Ia ingat sekali film patah hatinya. Ditonton untuk ditangisi. Sekarang Ia di dalamnya. Bergerak lambat. Menonton film itu membuatnya menangis. Tapi ternyata berada di dalamnya tidak membuatnya menangis. Tak ada waktu menangis lagi. Sewaktu menonton film itu dia pasti sedang menganggur. Gak ada kerjaan, batinnya.
    Apa boleh buat, sekedar menikmati patah hati saja. Sampai terbuai dua tahun lamanya. Sekarang Ia berada di film itu. Bergerak. Tak ada waktu menangis lagi. Apalagi sambil duduk-duduk.

    Selasa, 02 November 2010

    Hari Kedua. Monolog Kamar.

    Aku capek. Lapar. Butuh mandi. Dan air. Mulai kuikat rambutku dengan karet gelang. Percuma mencuri keramas di sela-sela pagi. Rambutku kusut ditelan karet gelang. Kalau hanya karena sanggul Jawaku, aku masih memaafkan. Tapi kali ini tidak. Perutku mati. Entah berontak atau tanda protes. Aku butuh kamar mandi merah jambu dengan lilin-lilin beraroma cempaka di tepian bak. Sedikit saja ditambah sari bengkuang. Memang sejak kapan kamu mau jadi pekerja sosial? 

    Semua orang butuh makan.  Aku butuh steak mahal. Atau yoghurt rasa buah-buahan yang hanya ada di mesin pembeku. Perutku akan merayakannya. Sepertinya. Bahkan bajuku lebih wangi dari diriku sendiri. Aku ingin menghitung kekayaanku. NOL BESAR. Kau tidak punya apa-apa. Memang apa yang kuharapkan? Setiap batu yang kutemukan dalam bungkusan makan siangku. Makan malamku. Bahan bangunan, kata pacarku.

    Sekarang batunya luar biasa. Lengkap dengan gabah-gabahnya. Bahkan jauh dari putih warnanya. Aku cuma punya ini. Harga dua ribu lima ratus rupiah. Dengan perkedel dan sayur sop. Aku cuma punya ini. Untuk malam ini. Tapi atap di atas kepalaku dan kasur untuk tidurku. Itu karunia. Pengingat syukurmu, suara-suara menjawab di kepalaku. Terkadang terdengar sarkastik. Sinis. Menopang. Menjatuhkan. Aku dan serpihan manik-manik itu. Aku yang butuh dan terbuai kenyamanan. Aku sungguh ingin pulang. Mengadu pada ibuku. Menangis keras-keras. Gusti.. kembali ke rahim ibu pasti nyaman sekali. Melengkung meringkuk.

    Ingat satu-dua adegan dari dua film keren untukku. Film yang kutonton bersama akar. Ibu dan rahimnya. Gigit-gigit telur dan menari-nari. Mau apa kau anakku?? Bukankah ini yang kau inginkan? Bukankah ini yang ingin kau lihat? Ini namanya hidup. Napasmu satu-satu. Dari setiap butir nasi yang kuberikan. Nafkahku dan ayahmu. Kusuapi. Kini kau punya sendiri. Apa air mata yang kau jadikan pelarian itu? Satu-satu setiap kau suapkan nasi itu ke mulutmu? Setiap hari? Setiap hari?? Kau tidak ingin sekalian kembali ke rahimku?? Ketawa-ketawa ibuku menawarkan. Dukanya siap menganga.  

    Selamat datang anakku, bisiknya. Ini hidup namanya. Kau akan lelah, lapar, butuh mandi, dan butuh air. Apa kau pikirkan itu? Atau masih steak dan yoghurt yang membeku di otakmu? Lilin beraroma di kamar mandimu? Duduk sambil membaca majalah dan bukannya semen yang langsung masuk ke got?

    Aku sih tahu hidup itu bagaimana, tiba-tiba pikiran sombong berdatangan. Hidup itu susah, keras, penuh perjuangan, aku tahu semuanya. Lagi-lagi bicara kosong dan sombong.  

    Tapi aku tidak ingin menghukum diriku sendiri sepertimu. Seorang sahabat menghantam tengkukku dengan benda tumpul sambil bicara itu. Mataku berputar-putar. Pusing. Sstt, aku pura-pura pingsan saja. Lelah. Otakku hanya aku yang mengerti. Yah, selain nasi seharga dua ribu lima ratus rupiah itu. Aku cuma punya otak. Iya kalau mereka bisa lihat. Aku capek beri pengertian. Terserahlah. Toh aku yang bangkrut. Mampus.