Rabu, 28 Desember 2011

Hari Kedua Puluh Delapan. Kalian.

Tiga hari yang terakhir. Bagai mengejar yang tak terlihat. Kuhubungi kalian. Kumohon datanglah. Ada banyak permintaan maaf dan terima kasih yang belum juga usai. Ingin bertemu dan berbincang sehari semalam. Seperti dulu. Waktu kita masih menanggung beban pendidikan. Ada waktu-waktu kita tak peduli pada dunia. Tak peduli pada masalah. Merasa seluruh dunia berputar di tangan kita. Dengan waktu yang tak terbatas. Kita selalu bersama dan tak akan hilang.

Apa kabar kalian? Ada waktunya kita akan berkumpul kembali. Seperti dulu. Namun entah kapan akan terwujud. Dengan formasi lengkap dan rencana yang mendadak tapi selalu menyenangkan. Dengan keadaan tak tahu arah dan kebanyakan waktu luang. Bingung menentukan langkah, tapi ada yang harus diselesaikan. Menunda yang menyenangkan. Batas waktu yang menyebalkan. Kalian masih disana?

Tentu tidak.. Kita semua melangkah. Kamu melangkah. Aku melangkah. Semua. Kita sama-sama melangkah, maju ke depan. Menjalani hidup masing-masing. Yang sekarang ada batasnya. Ada kadar kelelahan di dalamnya. Dipenuhi juga batasan-batasan baru yang diciptakan sendiri. Betapa membosankannya. Betapa menyebalkannya. Tapi tidak pernah sia-sia. Tidak ada yang tak bermakna. Setiap langkahmu ada maknanya. Setiap ayunan tanganku ada maksudnya. Kau dan aku. Kita. Dan dunia.

Kumohon datanglah. Kita berkumpul hari ini. Kita akan berbincang sampai larut malam dan pagi kembali. Kita akan bicara tentang dunia. Yang ternyata ada batasnya. Ada usianya. Ada makna orang-orang lain di sisi-sisi lain. Bukan hanya kita yang berdiri di atas sini. Mereka. Dia. Semua. Kalian sudah melihatnya kan? Batasan-batasan itu masih di depanmu? Tabraklah, kumohon. Kalian tahu batasan itu hanya kita buat sendiri.

Ingat?

Dulu hampir tak ada batas-batas itu. Cakrawala hanya ada di ujung laut atau di bawah gunung. Tempat kita melarikan diri. Tempat kita berlibur. Bersama-sama. Kalian ingat? Masa-masa penuh tawa dan tangis yang hanya kita yang tahu maknanya. Batas-batas itu lebur jadi satu. Tak pernah ada menghadang kita. Karena kita bersama. Aku. Kalian. Kita.

Kumohon. Datang dan tabraklah batas-batas itu. Aku masih ingin dengar mimpi-mimpi liarmu. Imajinasi-imajinasi tanpa batasan milikmu. Semuanya. Yang hanya kita yang punya. Yang akan kita wujudkan satu-satu. Tanpa batasan. Akan kita buat semuanya jadi nyata.


Tanpa kalian aku hanya gumpalan penuh tanya dan kebodohan. Yang bakal mati tanpa sempat tahu apa-apa.


Senin, 26 Desember 2011

Hari Kedua Puluh Tujuh. Lari Sejenak.

Empat hari dan terus berkurang. Oh oh. Cepatlah. Kubereskan barang-barangku dan kuambil ranselku. Satu hari saja. Jogjakarta. Ingin berjumpa denganmu sebentar.




Sekali lagi ingin mengintip sinar mataharimu. Merasakannya membakar kulitku. 
Sekali lagi ingin merasa nuansamu. Yang membuat memoriku kembali. 
Sekali lagi ingin lihat berbagai bunga itu. Dengan aromanya yang khas. 

Aku ingin satu hari saja. Menginjakkan kakiku di Stasiun Tugu. 

Mengingat cerita-cerita lama milik ibuku. 

Menyusuri memori. 



Hari Kedua Puluh Enam. Mata.

Lima hari terakhir. Lalu ada yang bertanya, "kenapa mata?"

Karena aku tahu pada akhirnya kita semua sendirian. Siapa yang tahu siapa yang nanti akan menangisi kita? Siapa tahu semuanya pergi lebih dahulu. Atau kau. Entahlah.

Karena hanya itu yang bisa kulakukan. Ada banyak ketakutan yang kusimpan sepanjang hidupku. Ada banyak hal yang tidak bisa kulakukan karena ketakutanku sendiri. Ada banyak batasan-batasan yang kubuat sendiri dengan atau tanpa kusadari.

Karena ada banyak hal yang belum sempat kulihat dengan mataku sendiri. Karena terlalu banyak warna di dunia ini yang belum kujelajahi sendiri maknanya. Karena ada detail-detail kecil yang mungkin kulewatkan sepanjang aku hidup.

Karena kupikir lebih baik daripada tidak sama sekali. Sekali terlintas, maka itu menjadi hak untuk memikirkannya lebih lanjut. Sekarang atau tidak sama sekali. Karena pamrih hanya pada-Nya. Pahala hanya pada-Nya. Tak ada yang perlu kau harapkan dari sekitarmu lagi.

Mati sih mati saja. Berhenti bernafas. Ditangisi (kalau ada yang menangisi) lalu dikubur di tanah. Selesai. Memang mau apalagi?

Karena bisa saja hanya ini hal terakhir yang bisa kulakukan.

Dan karena ini hatiku yang berbicara. Sudah lama kuinginkan.
 
drawing pen dan cat air di atas kertas concorde











 Silakan cek : http://indonesianeyebank.org/ namun, untuk proses yang lebih cepat hubungi rumah sakit mata atau dokter mata terdekat di kotamu :)

Minggu, 25 Desember 2011

Hari Kedua Puluh Lima. Pagi.

Sudah tinggal enam hari lagi. Diiringi doa sepanjang hari. Tapi satu hari ini aku ingin menyempatkan diri mengapresiasi pagi kembali. Dia yang sudah lama menemani hari-hariku. Pagi yang selalu membangunkanku. Mengingatkanku akan tugas hari ini. Supaya berjalan terus kakiku. Langkahku.

Pagi kali ini aku berdoa supaya pagi tetap terbit. Jangan hujan. Biar tetap cerah. Supaya semangat orang-orang untuk kembali beraktivitas. Semoga pagiku juga tidak kalah semangatnya. Walau hanya tersisa enam hari lagi aku bertemu pagi. Kuharap tak berkurang indahnya. Cintanya.

Karena pagi memberiku kunci-kunci baru setiap harinya. Kunci menuju ruang-ruang baru di hatiku supaya tetap terbuka. Tetap sabar dan tulus hati. Belajar berkompromi dan konsistensi. Pagi selalu mendorongku supaya lebih baik walau kadang lelah emosi ini. Kadang menyerah pada hormon. Pembelaan gender dan semacamnya. Tapi pagi selalu ada. Membuka hatiku. Supaya tetap berpijak. Membantuku mengingat supaya jangan percaya pada sedikit keringanan.

Hidupku akan berbeda tanpa pagi. Sinarnya yang benderang dan menyegarkan. Kuharap enam hari ini pagiku akan selalu cerah. Jangan hujan. Biar tetap terbit. Supaya semangat semua orang. Ibuku dan kakak-kakakku.

Pagiku. Sampai jumpa lagi. Terima kasih untuk selalu bersinar. Jangan hujan, ya.. :')

courtesy of Arief Maulana Fajrin 

Sabtu, 24 Desember 2011

Hari Kedua Puluh Empat. Berkunjung.

Tujuh hari lagi. Hari ini kuputuskan untuk pergi ke makam ayahku. Berziarah. Bersama ibuku.



"Dari (tanah) itulah Kami, membentuk kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain. " (QS 20:55)



Motif Batik tradisional bernama Cuwiri. Biasa digunakan pada saat upacara kematian.  

Mau apa kau anakku?? Bukankah ini yang kau inginkan? Bukankah ini yang ingin kau lihat? Ini namanya hidupNapasmu satu-satu. Dari setiap butir nasi yang kuberikan. Nafkahku dan ayahmu. Kusuapi. Kini kau punya sendiri.

Jumat, 23 Desember 2011

Hari Kedua Puluh Tiga. Menari.

Delapan hari menuju terakhir. Aku ingin menari. Sedikit saja. Biar lemas kaki-kaki ini, tapi mungkin sedikit Retna Pamudya akan membuatku bersemangat. Beksan yang menampilkan kelembutan, kehalusan, kesabaran, dan juga kekuatan. Beksan tentang Srikandi yang melawan Bisma. Tentang wanita. Yang walaupun Ia harus berperang, namun juga menjalani kodratnya dengan penuh kelembutan. 

Setelah sekian lama tidak menari, kaki-kaki itu mungkin akan sedikit kaku. Jangan lupa mendhak supaya kuat pijakanmu. Turunkan pandanganmu, supaya tak kau lihat hal-hal buruk itu. Cukup rasakan dengan hatimu. Biarkan mengalir menuju jemarimu. Ngruji. Ukel. Seblak sampurmu. Rasakan kekuatan dari tanganmu sendiri.

Lumaksono. 
Melangkah kakimu. Satu persatu sesuai iringan gamelan.

Kempyang.

Kethuk. 


Kempul.


Kenong.


Gong. 


Sembahan. Menyembah Tuhanmu. Berterima kasih kau diberi raga untuk menari. Terima kasih kau bisa mendengar iramanya. Terima kasih kau masih bisa merasa.

Rasakan alirannya lewat jemarimu. Kau menyembah Tuhanmu. Kau berterima kasih pada Tuhanmu. Kau berdiri di atas pijakanmu sendiri. Merasakan tanah di bawah kakimu.

Lalu aku merasa hidup. Menari itu hidupku. Maka kubiarkan hari ini kuhabiskan untuk menari. Tanda bersyukurku pada Tuhanku yang memberiku raga, irama, dan rasa yang membuatku menari.

"Setiap pekerjaan tidak luput dari doa yang dipanjatkan"
(dari sini)

Menariku hari ini. Setelah sekian lama tidak menari. Sedikit saja. Biar lemas kaki-kaki ini.

[Pena dan cat air di atas kertas concorde]




Keterangan:

Beksan: Tarian
Mendhak: Posisi tubuh saat menari Jawa.
Ngruji,Ukel, Seblak : Posisi tangan dalam tarian Jawa.
Sampur: Selendang untuk menari
Lumaksono: Siaga /siap, dalam gerakan tarian, semacam pola langkah.
Kempyang, Kethuk, Kempul, Kenong, Gong : Berbagai macam instrumen Gamelan.
Sembahan : Gerakan dalam tari dengan posisi tangan seperti menyembah.




Kamis, 22 Desember 2011

Hari Kedua Puluh Dua. Ibu.

Hari ini sembilan hari menuju terakhir. Dan jatuh pada apa yang mereka bilang Hari Ibu. Tentu saja hal pertama yang akan kulakukan adalah menemui ibuku dan berterima kasih padanya. Menjagaku sampai sejauh ini. Walau bukan hanya pada Hari Ibu saja, esok dan seterusnya pun akan selalu kucium tangannya dan tak usainya kuucapkan terima kasih.

Bagaimanapun ibuku akan selalu menjadi  manusia super itu. Karena entah bagaimana ceritanya, tapi di hari-hari hujan seperti ini, ibuku akan selalu menjagaku dan menaungiku. Bukankah aku yang seharusnya begitu terhadapnya? Saat Ia sudah di hari-hari tuanya dan aku sudah semakin dewasa? Tapi Ia masih sama terhadapku. Kalau kau bertanya tentang dongeng. Ibuku merupakan dongeng itu sendiri. Di tangannya tercipta keajaiban-keajaiban seperti yang ada di dalam dongeng.

Ia sering menceritakan padaku mengenai berbagai penderitaan di hidup ini. Tapi dengan berbagai maknanya, Ia menyuruhku untuk terus bersyukur. Kau tahu, seperti punya buku Chicken Soup For The Soul berjalan. Mengagumkan, tak pernah terpikir di otakku untuk tetap berpikir sehat mendengar cerita-cerita tersebut. Tapi kata-katanya mengingatkanku bahwa keadaan ini tak pernah seburuk itu. Sesusah apapun itu.

Karena Tuhan tidak akan memberikan ujian/cobaan yang melebihi kemampuan kita. 



Karena pulang itu berarti ibuku. 


Rabu, 21 Desember 2011

Hari Kedua Puluh Satu. Renungan.


Tapi jiwaku sungguh sudah ada disana. Hanya belum saatnya. Kaki ini masih harus merasakan pijakan-pijakan lain. Tempaan diri sebelum nanti menari penuh makna bersama kalian semua lagi




Tanah berdebu. Tapi ada kehidupan di dalamnya. Kau harus melihat lebih dekat untuk mengetahuinya.
Semacam renungan di akhir tahun. Mengingat kembali niat awalku pergi ke sini. Tempaan diri. Melarikan diri. Menghukum diri sendiri. Menantang diri sendiri. Meninggalkan area aman. Apapun itu mereka menyebutnya. Di sinilah aku kini. Setelah mengumpulkan berbagai makna. Sudah saatnya kembali. Menambahkan warna-warna pada makna-makna yang kumiliki.

Menyambut hangat pelukan ibuku. Tangan-tangan para sahabat penyemangatku. Dan menari itu. Yang sudah bersabar menungguku selama ini. Tak sabar kakiku kembali menari lagi. Baiklah. Sudah saatnya.

Halo semua :)


Dulu kusanpaikan pada mereka, "Aku kembali, kawan-kawan.. Kalian mencariku?" basuhku pada bumi, pada tanah. Tayamum. 


Kini aku akan kembali pada mimpi. Selamat berjumpa lagi. 

Selasa, 20 Desember 2011

Hari Kedua Puluh. Langkah.

Bersiap untuk beranjak pergi dari tanah berdebu, maka kuselesaikan sisa-sisa pekerjaanku. Karena perpindahan itu selalu menyenangkan seperti kata saudaraku. Karena itu berarti kau memulai langkah baru. Yang bilang itu merupakan sebuah akhir hanya orang-orang yang pesimis di dalam hidupnya. Persis seperti teori setengah isi setengah kosong. Semuanya ada pada pikiranmu. Karena hidup juga sesuai apa yang kau pikirkan.

Maka hari ini kuselesaikan semua pekerjaanku. Besok mungkin beberapa lagi. Tapi menyelesaikan apa yang harus kau selesaikan itu selalu menyenangkan. Kau mendapat nilai dan makna sekaligus. Warnanya silahkan tambahkan sendiri. Kau yang memilih. Kau juga yang menyelesaikan.


"There's nothing you can do that can't be done" - The Beatles

Senin, 19 Desember 2011

Hari Kesembilan Belas. Perjalanan.

Hari Senin, selalu menjadi hari perjalananku selama hampir satu setengah tahun terakhir ini. Namun, Senin kali ini berbeda. Karena Senin ini mungkin akan jadi hari Senin terakhirku melalui perjalanan ini. Perjalanan menuju tanah berdebu di pinggiran Bandung. Sebelum aku mulai menapaki mimpi-mimpi baruku di ruang nyaman bernama rumah.

Tanah berdebu itu penuh kehidupan. Yang tadinya tidak sungguh-sungguh kurasakan sendiri semenjak aku selalu hidup di tengah kota dan tidak terlalu memberi perhatian ke sekitar. Tanah berdebu itu kusam dan kering, namun banyak orang hidup darinya. Melangkah dan menapak di atasnya. Bermacam-macam rupanya, ada yang ikhlas, ada juga yang terpaksa.

Hari ini kujalani perjalananku menuju ke tanah yang berdebu itu. Perjalanan empat kali naik dan turun angkutan umum yang berbeda. Dengan isi penumpang yang beragam. Angkutan yang pertama membawaku masih di tengah kota. Sepi dan hampir kosong. Banyak angkutan berlomba mencari penumpang. Tapi  memang terlalu sepi. Mungkin para penduduk kota sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi. Peminat angkutan umum berkurang drastis dari yang dulu pernah kualami. Waktu-waktu ketika aku harus berebutan berangkat paling pagi supaya mendapatkan angkutan yang cukup sepi dan kosong untuk berangkat ke sekolah. Namun, kini semuanya sudah tidak seperti itu lagi. Berbanding terbalik. Dulu penumpang yang mencari angkutan, kini angkutan yang mencari penumpang.

Angkutan kedua mulai membawaku sedikit ke pinggiran kota. Di dalamnya banyak anak sekolah yang entah kenapa sedikit kesiangan menurutku. Atau mungkin karena mereka sedang ujian? Entahlah. Ada juga ibu-ibu dan bapak-bapak yang terlihat mau ke pasar atau ke kantor. Sungguh beragam. Tapi kebanyakan hanya penumpang jarak dekat yang naik, kemudian turun tidak jauh dari tempat mereka naik. Mungkin jalur yang dirasa cukup ramai oleh kendaraan membuat mereka malas berjalan kaki walaupun dekat.

Angkutan ketiga yang kunaiki memasuki area pinggiran kota. Mungkin baru dua atau tiga kali kunaiki angkutan ini. Karena biasanya aku pergi lewat jalur yang lain. Dengan sedikit kenyamanan. Tapi memang kali ini aku ingin merasakan sedikit debu langsung di kakiku. Maka di situlah aku. Duduk di dalam angkutan ketiga itu. Di dalamnya kudapatkan banyak kejutan. Mulai dari dua anak kecil yang ribut dan sungguh kotor sekali. Makan rambutan dengan kuku yang hitam-hitam. Sedikit heran kuperhatikan mereka. Ibunya duduk di sampingnya dengan muka tak peduli. Kulihat jam tanganku. Pukul delapan pagi. Rambutan itu masuk ke perut mereka. Sudahkah mereka sarapan? Bersihkah rambutan itu? (ya, aku yang selalu diceramahi ibuku untuk mencuci sedikit apapun buah yang akan kumakan)

Ada juga seorang nenek dengan kebaya dan kain. Mukanya terlihat tua namun senyum di wajahnya. Ujung-ujung jarinya kuning keoranye-oranyean, entah bekas apa. Disebelahnya duduk pula seorang pemuda tinggi besar dengan kulit agak gelap. Duduk dengan muka kaku dan menatap lurus ke depan.

Lalu di depan sebuah pasar di pinggiran Bandung, masuklah seorang bapak-bapak menggotong seember besar daging segar. Duduk di sebelahku. Bisa kulihat betapa segarnya daging-daging yang ada di dalam embernya. Basah dan merah. Baunya pun langsung memenuhi seisi angkutan. Aku ingin menutup hidungku. Tapi tak kulihat seorang pun menutup hidungnya. Lalu melintas di pikiranku, benar juga, daging itu pun makanan. Siapa tahu nanti malam, besok, atau lusa, daging yang ada di dalam ember itu bertemu lagi denganku dalam bentuk yang lain. Mungkin gepuk, ati-ampela, ayam goreng, atau entah apa lagi. Mungkin aku juga akan memakannya. Bukankah selama ini juga aku memakan daging? Apalagi bapak ini dari pasar. Jadi jelas-jelas daging yang Ia bawa memang untuk dijual sebagai bahan masakan. Siapa tahu memang kita akan bertemu lagi. Jadi kuurungkan niatku untuk menutup hidungku. Lama-lama toh baunya hilang juga. Karena terbiasa.

Lalu masuklah satu lagi ibu-ibu muda. Pakai kacamata dan kulitnya bersih. Jilbab merah menutupi auratnya. Cantik. Ia membawa dua plastik besar berisi berbagai macam makanan ringan untuk anak-anak dengan berbagai macam tokoh kartun yang sedang populer di bungkusnya. Tak pernah kulihat label-label itu. Mungkin memang hanya ada di pasar pinggiran saja. Plastik-plastik besar itu ditumpuk didepanku. Hampir sejajar dengan kepalaku. Memenuhi ruang di dalam angkutan itu. Belum lagi satu plastik hitam besar berisi sayur-sayuran. Jelas terlihat ibu ini seorang pedagang juga. Pengusaha, seperti bapak-bapak dan ibu-ibu pengusaha yang di kota berkeliaran naik mobil mewah.

Lucu, dua anak kecil yang tadi berisik pun berebutan ingin mencicipi snack-snack yang dibawa ibu itu. Dan terjadilah transaksi dadakan di dalam angkutan yang sesak itu. Ibu dua anak itu membelikan yang mereka inginkan. Si ibu pengusaha menerima uangnya. Dua ribu rupiah saja. Dapat empat bungkus snack warna-warni yang aku sendiri tak tahu labelnya apa. Kulihat sekilas. Tak kulihat sederet kode-kode tanda kesehatan dari departemen terkait. Ya, kuharap mereka tidak sakit perut setelahnya.

Dari keadaan penuh sesak begitu, satu persatu penumpang turun dan memberi ruang baru. Memang aku salah satu penumpang dengan rute terjauh, maka sampai di ujung perjalanan hanya tertinggal sedikit penumpang dan aku pun turun.

Satu lagi angkutan yang harus kunaiki untuk mencapai tempat tujuanku. Di angkutan yang terakhir ini, naik segerombolan anak-anak sekolah berseragam biru-putih. Lima orang perempuan dan satu orang laki-laki yang semuanya memiliki kulit sedikit gelap. Ramai mengobrol. Ya, tipikal anak sekolah begitu. Aku duduk di pojokan. Mengamati pembicaraan mereka. Sedikit terkejut. Mereka berbincang tentang ujian mereka di sekolah tadi. Sekarang aku tidak begitu ingat lagi. Tapi ketika di angkutan itu kupikir betapa rajinnya mereka. Jauh dari penampilan yang cukup (maaf) kotor dan kurang rapi apabila dibandingkan dengan pelajar-pelajar yang kulihat naik turun di kota dalam angkutan yang pertama tadi. Namun begitu lucunya pembicaraan mereka. Menarik dan pintar. Aku sampai keasyikan mengamati dan ikut mendengarkan mereka. Ketika kusadari sudah waktunya aku turun. Tempat tujuanku sudah di depan mata. Maka turunlah aku. Berhenti menjadi pengamat dan siap menapaki tanah berdebuku sendiri.

Perjalanan selama hampir tiga jam. Dengan empat macam angkutan. Sekitar dua puluh tiga kilometer ke Tenggara Kota Bandung. Selamat datang di tanah berdebu. Sampai seminggu ke depan, aku menapaki kakiku disini. Sampai jumpa :)

Minggu, 18 Desember 2011

Hari Kedelapan Belas. Sahabat.

Suatu hari ketika kau mempertanyakan kepada hatimu dimana sahabat-sahabat lamamu. Pertama tengoklah dulu apa yang sudah kau lakukan pada mereka. Apa yang sudah kau lakukan hanya demi mengingat mereka. Karena kau akan terhargai dengan harga yang sama seperti apa yang kau hargai. 

Tapi kau tahu sahabatmu di sana. Mereka tidak pernah pergi dari hatimu. Walau sudah berpisah jauh, tapi kau tahu bahwa mereka selalu ada. Mungkin ceritamu tak sebanyak dulu lagi karena terhapus waktu. Sensasinya tidak seseru dulu lagi karena termakan usia. Tapi kan mereka ada. Di hatimu. Semuanya masih sama. Hanya umurmu. Kan memori selalu membohongimu? Memori akan berlalu dan membohongimu. Dikejar waktu dan dunia. Tapi sebenernya semuanya tetap di sana. Ada di hatimu. Hari ini kau buktikan itu. Bertemu sahabat lamamu. Dan memori sebenarnya hanya membohongimu. Kau tahu hatimu tidak begitu. Maka peluklah sahabatmu. Kapanpun kau bertemu dengan mereka. Walau hanya di dalam hati. 

Mereka merindukanmu. 

Aku juga merindukanmu. 

Tanpa kalian aku akan membawa banyak barang dengan dua tanganku saja. Kerepotan dan tersandung-sandung saking penuhnya :)

Jumat, 16 Desember 2011

Hari Ketujuh Belas. Pulang.

Hari ini hari pulang. Bersiap meninggalkan jejak di tanah berdebu ini. Disapa sapuan hangat tangan ibuku dan jendela kayu besar milik ayahku. Jendela yang di depannya ada pepohonan hijau dan embun. Debu-debu pun tak hinggap.

Hari ini hari pulang. Setelah satu minggu menjejak bumi. Saatnya menapaki mimpi di akhir minggu. Mimpi yang selalu menjadi tujuannya. Mimpinya itu pulangnya. Bukan mimpi bila kau tidak menujunya. Sebab itu mimpi menjadi tujuan kan? Pendorong hidup kala kau kehilangan semangat. 

Kakiku lelah berjalan di tanah berdebu. Kakiku siap berjalan pulang kali ini. Tak ada yang lebih berarti lagi hari ini. Bersiap menyambut udara sejuk dan napas lega. Hari Sabtu adalah hari pulang. Hari kesukaanku.. :)

"Dan lalu.. Sekitarku tak mungkin lagi kini, meringankan lara... Bawa aku pulang, rindu... Segera!!"
-Pulang oleh Float

Courtesy of Rinandita Anggareni 

Kamis, 15 Desember 2011

Hari Keenam Belas. Tentang Napas.

Pagi ini matahari bersinar terang. Walau basah tanahnya. Cahayanya membuat jemuran Ibu kering. Membangunkan para pekerja sepagi mungkin supaya tidak lari rezekinya. Tukang bata berjalan di aspal kering yang sejuk. Kaki-kaki mereka tidak beralas kaki. Menuntun sepeda di pinggir sawah. Semuanya terlihat lebih ceria ketika matahari bersinar. Semuanya terbagi rezeki.


courtesy of Rinandita Anggareni 


Hari ini matahari bersinar. Mungkin tidak akan sampai sore nanti. Karena gelap awan mulai menggeser. Tapi rezeki kami sudah diberikan. Bangun di pagi hari dan bernapas kembali. Dikembalikan nyawa-nyawa kami sementara. Matahari juga tidak bosan-bosan menyapa. Sedikit lelah mungkin, maka Ia memberi kesempatan pada awan gelap untuk menurunkan hujan. Tapi napas masih terus menghirup dan dihirup. Itu rezekimu hari ini.


courtesy of Rinandita Anggareni 

Hari Kelima Belas. Ucapan Terima Kasih.

Hari berterima kasih pada seorang kakak. Yang pulang pada hari bahagia. Mengucapkan terima kasih sama senangnya dengan diucapkan terima kasih. Kau tidak kehilangan dan rugi karenanya. Hari ini senang karena telah mengucapkan terima kasih. Semoga sampai ucapannya ke atas sana. Terima kasih :)

Mereka bilang Tuhan menuliskan angka 81 dan 18 di telapak tangan kita. Kalau kau tambahkan, maka hasilnya adalah 99. Asmaul Husna. 99 nama Allah. 

Rabu, 14 Desember 2011

Hari Keempat Belas. Mari Pulang.

Suatu hal belum tentu memenuhi segalanya. Itulah dirimu saat ini. Setengah kosong, setengah isi. Perlu berapa banyak waktu dijelajahi sampai kau tahu itu terisi penuh, atau kosong hingga bersih? Kau perlu dibawa pulang, tapi birumu biar pudar dulu. Itulah kenapa disebut pergi jauh, sama seperti mereka memanggil sore begitu cepat. Agar terasa ajaibnya. Biar rindu dinantinya.



Selasa, 13 Desember 2011

Hari Ketiga belas. Memento Mori #2.

Memento mori is a Latin phrase translated as "Remember you must die" (Wikipedia)


Tuhan beri saya kehilangan beberapa kali. Latihan kecil dan latihan besar untuk saya. Semoga ketika nanti saatnya datang, saya sudah siap akan semuanya. Dan ketika saya yang hilang kelak saya akan tersenyum. Setelah semua latihan yang saya kerjakan, setelah semua kehilangan yang saya terima. Membayangkan siapa yang kehilangan nantinya. Siapapun itu, saya akan bahagia. Semoga. Ternyata mungkin lebih menyenangkan. Semoga. 


Karena hidupmu Tuhan yang punya. Umurmu sudah ditulis olehNya. Berbahagialah kau yang masih ditegur oleh Tuhan. Ia masih sayang padamu.



Senin, 12 Desember 2011

Hari Keduabelas. Tentang Keringanan.

Setiap pukul delapan dia menarik diri dari dunia nyata. Merekalah yang menjaga pikirannya tetap waras. Kerendahan itu. Tiap kali Ia menengok berwarnanya dunia yang lain. Ia bilang pada dirinya sendiri. Jer basuki mawa beya. Maka berteduh Ia dibalik redup abu-abu itu. Mungkin sedikit merah dan biru. Tapi sedikit saja. Ia takut terlena. Sudah berapa latihan yang Ia lewati. Jangan pernah percaya pada keringanan. Apalagi menyenderkan tubuhmu padanya. Redup abu-abu itu kini. Namun kau punya banyak makna di dalamnya. Kalau kau tidak percaya coba saja buka buku tentang warna karya Shigenobu Kobayashi.

Minggu, 11 Desember 2011

Hari Kesebelas. Hidup.

Ya, aku tahu kau masih mengamati kehidupan, aku tahu, tapi kini kau berada di dalamnya. Menginjakkan kakimu tak beralas di atas tanahnya. Bukankah rasanya nikmat sekali? Merasakan butiran-butiran tanah itu di sela-sela jari kakimu? Kaulah itu kini. Tirakat dan ikhtiar. Dan tahukah kau, Tuhan senantiasa memberikan apa yang kau butuhkan, bukan yang kau inginkan. 



Hari Kesepuluh. Tundukkan Kepalamu.

Jangan pernah merasa lebih tinggi dari Yang Kuasa. Karena kau hanya bertugas menulis. Menoreh. Bisa jadi pula luka yang kau torehkan. Maka semesta akan menangis. Maka berhati-hatilah. Semesta ini milik Yang Kuasa.

Hari Keenam. Dongeng Amba dan Nitik.

Ini kisah tentang perjalanan. Sang Puteri Kecil dari Tanah Barat yang sedang melakukan perjalanannya akan rindu tanah leluhur. Tanah Tengah tujuannya. Dalam perjalanannya menuju Tanah Tengah, Ia bertemu beragam manusia dengan keahliannya masing-masing. Ia baru menyadari bahwa semua berjalan pada jalurnya masing-masing. Semua memiliki tugas untuk menjalani hidup. Namun, satu yang Ia paling membuatnya terkesan, Ia bertemu dengan para perajin. Mereka yang bekerja tekun dan teliti dengan tangannya. Mereka yang memiliki perasaan yang sensitif dan indah. Mereka yang bersabar luar biasa demi keindahan.



Sang Puteri yang sungguh terkesan lalu memutuskan untuk menetap sementara. Ia ingin tahu lebih jauh tentang ketelitian yang luar biasa itu. Tentang orang-orang yang bersabar luar biasa itu. Para penduduk Tanah Tengah menyebutnya perajin. Mereka yang memiliki arti hidup paling tinggi. Yang jiwanya diserahkan pada selembar kain putih polos yang mereka sebut mori. Tangan mereka luwes memberi titik-titik pada permukaannya. Memberi nilai yang tidak bisa disebutkan berapa jumlahnya.


 

Lalu Sang Puteri didongengi oleh para penduduk tersebut. Dongeng tentang semesta. Dongeng itu diceritakan pada Sang Puteri ketika bulan penuh di langit malam. Purnama sidhi mereka bilang. Pada malam-malam bulan penuh itulah para perajin itu duduk bersila. Duduk menghadap kain putihnya yang telah dibentangkan di atas gawangan. Mereka menundukkan kepalanya. Menutup matanya. Meresapi semesta. Kain putih di hadapan mereka ibarat semesta luas yang cakrawalanya kelak akan mereka ukir sendiri. Lalu tangan mereka akan mengeratkan pegangannya pada tembaga yang mereka bentuk sedemikian rupa sehingga bisa menampung karya. Menampung rasa. Menampung sewajan cairan cokelat gelap beraroma damar. Nyamplung mereka menyebutnya. Disatukan dengan cucuk dan gagang yang akhirnya dinamakan canting

Di dalam canting ada cairan yang mereka saring dari pepohonan damar yang mereka tanam sedari bibit. Cairan itu mereka sebut malam. Selayaknya malam yang menaungi Sang Purnama. Panas cairan itu membutuhkan wajan untuk menampung. Wajan yang menampungnya ibarat langit yang menaungi semesta. Tangan-tangan perajin itu memegang gagang dengan diiringi hembusan nafas yang satu-satu. Yang diatur supaya selaras dengan setiap goresan yang mereka torehkan di bidang semesta. Di bidang putih polos yang mereka lukis dengan keindahan dan kesabaran. Hati-hati mereka penuhi bidang. Mereka semua tahu, semesta itu milik Yang Kuasa. Tangan-tangan manusia mereka terlalu lemah untuk seenaknya menggores pola. Sebab itulah betapa hati-hatinya mereka menoreh.



Satu hembusan nafas untuk setiap satu tarikan garis. Duduk bersila jadi salah satu bentuk penghormatan. Jangan pernah merasa lebih tinggi dari Yang Kuasa. Karena kau hanya bertugas menulis. Menoreh. Bisa jadi pula luka yang kau torehkan. Maka semesta akan menangis. Maka berhati-hatilah. Semesta ini milik Yang Kuasa. Canting di tanganmu hanya perantara. Ia yang mengisi titik-titik. Menulisi titik-titik. Amba. Nitik.

Sang Puteri hampir kehabisan nafas saking kagumnya pada dongeng itu. Ia ikut menahan nafas tiap kali melihat para perajin itu duduk bersila dan menitiki semesta. Ia menyaksikan renungan hidup secara langsung. Bukan lagi hanya ucapan atau cerita. Ia duduk dan menyaksikan para perajin itu menundukkan pandangannya untuk meresapi semesta. Dan rasanya luar biasa. Tangannya tak sabar ingin menggenggam gagang canting juga. Hatinya berdebar-debar keras rindu memegang permukaan mori selayaknya rindunya padanya tangan Ayahnya.

Para perajin pun menerima Sang Puteri dengan tangan terbuka. Para penduduk menyambut Sang Puteri sebagai salah satu calon perajin yang terpercaya. Bukan karena Sang Puteri dari tanah yang terkenal makmur, bukan pula karena Sang Puteri pendatang yang istimewa, tapi karena Sang Puteri mau meresapi semesta seperti mereka. Karena Sang Puteri tidak beralas kaki dan mau duduk bersila. Sang Puteri mau meresapi semesta. Menundukkan mata demi menitiki kain putih polos yang kelak tidak akan ternilai dengan emas. Kain putih polos itu semesta yang kau tinggali. Kain itu akan diberi warna dan makna. Lalu manusia-manusia Tanah Tengah akan menjadi punggawanya. Itu harta tak benda yang tidak bisa dinilai dengan kesombongan. Bukan pula harta yang bisa diperebutkan di tanah-tanah seberang. Karena hanya mereka yang meresapi semesta yang mengerti. Dan Sang Puteri salah satunya. Perjalanannya masih panjang. Kain morinya masih terlalu polos. Namun cantingnya sudah siap dipakai. Ia akan bawa ke Tanah Barat dan tunjukkan pada dunia.



[Sebuah apresiasi untuk teman-temanku para kriyawan dan kriyawati, yang tangannya tak pernah lelah berkarya. Dan untuk Batik Indonesia, yang kaya filosofinya masih terus membuat saya merinding.]

Sabtu, 10 Desember 2011

Hari Kesembilan. Selamat Menemukan.

Apabila kau kehilangan sesuatu, maka kau akan mencarinya sampai ketemu. Sampai tak kosong lagi kau rasa. Sampai kau merasa sesuatu terisi kembali. Itulah yang kelak kau sebut menemukan.




Selamat menemukan.



Selamat berjumpa.

Hari Kelima. Puteri Kecil. Bagian Dua.

Masih ingat tentang Puteri Kecil kan? Ya, Puteri Kecil dari Tanah Barat. Ia yang sedang kehilangan ayahnya dan kekurangan kenyamanannya. Si Puteri dari Tanah Barat ini sudah bertanya kesana kemari mengenai ayahnya. Tapi tak ada yang bisa menjawabnya. Sekarang, kedua kakaknya malah harus pergi meninggalkan rumah karena harus menggantikan tugas ayahnya. Sang Puteri merasa sedih, namun Ia malu untuk menangis. Kenyamanan sudah membuainya selama ini. Rasanya menangis membuatnya akan semakin kehilangan. Tangisnya pun diam-diam. Menangis dibalik punggung ibunya.

Baru kali ini Sang Puteri merasa kegelisahan yang sangat. Pikirannya berputar. Berputar. Kenyamanan sudah tak dirasakannya lagi. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Untuk dirinya. Untuk ibunya. Untuk ayahnya. Yang hilang ke tempat yang dia juga tidak tahu. Maka dibukanya alas kakinya. Ia mencoba menapakkan kaki di Tanah Barat tanpa alas. Terkaget Ia, setelah bertahun-tahun Ia hidup di Tanah Barat, minum airnya yang sejuk, menikmati kenyamanan udaranya, namun Ia baru tersadar Ia tidak pernah merasakan tekstur tanah itu sendiri. Jari-jari kakinya tidak pernah menginjak Tanah Barat yang merah dan subur itu langsung tanpa alas.

Sang Puteri meminta restu pada ibunya untuk melangkah tanpa alas kaki. Dihirupnya debu-debu Tanah Barat yang selama ini tak pernah Ia hirup langsung. Turunlah Ia ke pinggir-pinggir Tanah Barat yang tanahnya hampir abu-abu dan bau keringat. Kenyamanan juga ada batasnya, pikirnya. Betapa buta matanya selama ini. Ditutup kenyamanan. Setelah beberapa bulan meniti Tanah Barat tanpa alas kaki, tanpa jawaban, Ia menutup hatinya lebih jauh. Cukup ayahnya. Ia mencintai ayahnya, dan hatinya untuk ibunya. Maka ditulislah sepucuk surat. Isinya kurang lebih begini,

"Selamat berjumpa lagi Tanah Barat.. Dua bulan ini kakiku akan melangkah jauh darimu. Kakiku ingin merasakan kesempatan menyentuh pasir halus Pantai Selatan dan menapaki abu gunung dari utara. Tentunya dengan aroma yang berbeda dari aroma gunung di tanahmu yang menyebar di seluruh arah mata angin. Kesana aku melangkah tanpa alas kaki, sedikit-sedikit menari walau tanpa alunan. Aku menari dengan tanganku dan gamelan yang hanya bergema di kepalaku. 

Tanah Barat, jangan cemburu ya, kau tetap lebih hijau dan sejuk. Nuansamu tetap warna-warni di hatiku, tapi darahku mengalir disini. Di Tanah Tengah ini. Ayah dan Ibuku seolah memelukku di sini. Entah kenapa. Tapi jiwaku menemukan rumahnya. Hidungku menghirup aromanya yang penuh rindu. Walau warna disini hanya cokelat dan cokelat saja. Tapi jemari kakiku mencengkeram erat tanah pasirnya. Tanah yang berbeda dengan tanahmu yang gembur dan merah. Bahkan kulitku terbakar mataharinya tapi tetap berterima kasih pada cerahnya. Ya, di sini di Tanah Tengah matahari bersinar hampir sepanjang minggu. Dan setiap sinar panasnya kuterima dengan lega hati. 

Tanah Barat, aku hanya sementara di sini. Kau tahu kutitipkan Ibuku berpijak padamu seperti kau jaga Ayahku di Tanahmu. Walau kau tahu di darah mereka mengalir warna Tanah Tengah sini, tapi kamu memang pandai merebut hati. Jiwa kami berdarah Tengah, tapi hati kami sepenuhnya milikmu. Maka berikan aku kesempatan sebentar untuk memberi makan jiwaku sejenak ya. Lalu nanti hatiku akan kembali menari di tanahmu. 

Terima kasih Tanah Barat, sampai kita berjumpa lagi ya..

Salam manis, 
Puteri Kecil"

Ya, Puteri Kecil memutuskan untuk berkelana. Ia membuka alas kakinya, meniti mulai dari pinggir Tanah Barat menuju ke Tanah Tengah. Tanah tempat kedua orang tuanya berasal. Dan tahukah kau satu hal? Ternyata Si Puteri Kecil ini begitu suka menari. Menarinya pun tak main-main. Menarinya tanpa alas kaki. Ia diajari Ayahnya. Kehilangan ayahnya membuatnya mencari lebih dalam. Bukankah memang begitu? Apabila kau kehilangan sesuatu, maka kau akan mencarinya sampai ketemu. Sampai tak kosong lagi kau rasa. Sampai kau merasa sesuatu terisi kembali. Itulah yang kelak kau sebut menemukan.

Maka, selamat menemukan hey, Puteri Kecil ;)

Hari Kedelapan. Tentang Rezeki.

Hargai setiap serpih nasi di piringmu. Syukuri yang tak pernah kau syukuri. Kau disini berbagi rezeki dengan yang lain. Nafasmu satu-satu bernilai hak yang sama dengan yang lain. Ada dua setengah persen didalamnya.

Hari Keempat. Dongeng Si Sakit.

Pernah dengar pendongeng yang jatuh sakit? Aku akan bercerita mengenainya. Si pendongeng kecapekan rupanya. Sekarang ada lubang kecil lebam biru di tangan kirinya, dan luka besar di tukak lambungnya. Pendongeng ini kalah dengan langkahnya. Sudah diputuskan akan berhenti, tapi sebentar saja sudah ambruk di tengah jalan. Ia harus istirahat. Tidurnya pun tidak nyenyak seperti malam-malam biasanya. Masa sih harus didongengi juga? Lucu ya, seorang pendongeng yang minta didongengi. Namun baiklah, berhubung Ia sedang sakit, maka aku akan mendongeng sedikit khusus untuk si pendongeng. Untuk pengantar tidurnya supaya nyenyak, supaya cepat sembuh.

Dongeng ini dongeng lama. Dulu ayahku yang suka ceritakan. Dongeng tentang tujuh bidadari dari negeri kahyangan. Mungkin kau sudah tahu? Si pendongeng pasti sudah hafal di luar kepala. Yang selendangnya diambil lelaki manusia bernama Joko Tarub demi kekagumannya akan kecantikan bidadari-bidadari itu. Salah satu selendang yang berhasil diambilnya itu membuat seorang bidadari tidak bisa kembali ke kahyangan. Kelak kita akan tahu, Nawang Wulan namanya. Tambahkan Dewi di depannya, karena Ia memang seorang Dewi. Wajahnya bersinar seperti rembulan. Kalau kau melihatnya kau seperti sedang melihat terang bulan. Purnama sidhi. Teduh, temaram, dan terang menenangkan. Joko Tarub langsung meminangnya.Dan takut kehilangan kecantikan teduh itu, maka disembunyikanlah rapat-rapat selendang milik Nawang Wulan agar Ia tidak bisa kembali ke kahyangan.

Singkat cerita, hiduplah Joko Tarub dan Nawang Wulan dengan bahagia. Semuanya berjalan baik, hidup Joko Tarub pun bertambah makmur. Hasil panennya selalu berlimpah setiap musim tanpa berkurang sedikitpun. Malah hasilnya senantiasa bertambah dan terus bertambah. Tak ada yang kurang lagi dalam hidupnya. Apalagi dengan istri yang cantik dan baik di sampingnya. Hanya ada satu permintaan Nawang Wulan pada Joko Tarub agar tidak mengintipnya di dapur tiap kali Ia sedang memasak nasi. Joko Tarub pun senantiasa mengikuti sepenuh hati. Tak ada sedikitpun prasangka buruk atau rasa penasaran yang berlebihan di hatinya. Sampai suatu hari, ketika Nawang Wulan harus pergi ke sungai, Ia titipkan nasi yang sedang dimasak pada suaminya. Namun tetap dengan pesan yang sama agar jangan diintip ke dalam dapur. Cukup berjagalah di luar. Lalu pergilah Nawang Wulan.

Joko Tarub tak pernah merasa ingin mengintip sampai saat ini. Rasa penasaran itu sungguh-sungguh mendorongnya membuka pintu dapur dan mengintip kukusan nasi yang masih panas itu. Betapa kagetnya Joko Tarub saat Ia lihat hanya ada sebatang padi di dalamnya. Maka Ia pun tahu kini, mengapa lumbung padinya tak pernah kosong. Mengapa setiap musim panennya tidak pernah berkurang dan malah bertambah. Semuanya karena istrinya hanya mengambil sebatang padi setiap hari untuk makan keluarganya. Sebatang padi itu akan masak menjadi sebakul nasi dengan kekuatan bidadari milik istrinya. Ah, ah, Joko Tarub tidaklah kaget lagi. Bukankah Ia yang menyembunyikan selendang Nawang Wulan dan meminang seorang bidadari yang jelas-jelas bukan manusia untuk menjadi istrinya? Lalu kenapa Ia harus heran akan keajaiban kecil di dapurnya ini? Nawang Wulan saja sudah merupakan keajaiban tersendiri dalam hidupnya.

Maka diputuskannya untuk memberi tahu Nawang Wulan yang sebenarnya. Bahwa dialah yang mengambil selendang bidadari milik Nawang Wulan sehingga Ia tidak bisa kembali ke kahyangan. Bahwa Ia tidak terkejut mendapati keajaiban sebatang padi yang dilakukan istrinya itu. Bahwa Ia tahu Ia telah menikahi seorang bidadari selama ini. Namun, tahukah kau bahwa semuanya tidak sesederhana itu? Nawang Wulan yang jelas-jelas bidadari itu tentu saja tidak bodoh. Tahukah kau bahwa ternyata Nawang Wulan pun tahu bahwa selendangnya disembunyikan Joko Tarub? Tahukah kau bahwa Nawang Wulan pergi ke sungai untuk bertemu kakak-kakaknya sesama bidadari untuk melepas rindu? Ya, dongeng tinggal dongeng.. Bahkan pendongeng pun bisa jatuh sakit. Nawang Wulan senantiasa mengetahui cerita ini dari awalnya. Bahkan mungkin Ia memang sengaja jatuh ke bumi untuk menolong Joko Tarub. Bukankah itu tugas seorang bidadari? Membawa keajaiban-keajaiban untuk menolong manusia.

Namun apa daya, Joko Tarub yang manusia itu juga penuh kesalahan. Ia telah membuka kukusan nasi dan menemukan sebatang padi yang dimasak Nawang Wulan. Itu membuat kekuatan Nawang Wulan hilang. Nawang Wulan kembali ke rumah dan mendapati kukusannya telah dibuka. Ia menangis dan merenung. Menangisi nasibnya karena telah menjadi manusia biasa. Menangisi hidupnya di kahyangan yang tak mungkin Ia gapai lagi. Merenungi hidupnya di bumi yang penuh kesedihan ini. Ia menangis dan mengadu pada Joko Tarub. Ia mengadu tentang harga beras yang mahal. Ia mengadu tentang sulitnya menyebrangi sungai kala arus sedang deras. Ia mengadu tentang malam yang gelap di gubuknya yang irit pelita. Ia mengadu tentang betapa merananya hidupnya tanpa kekuatan bidadarinya.

Joko Tarub jatuh sakit. Sibuk mendengar keluhan-keluhan manja sang bidadari yang jatuh ke bumi. Lelah mencari cara agar lumbungnya senantiasa penuh. Dan Nawang Wulan tetap harus memasak nasi setiap hari. Ternyata Joko Tarub jatuh sakit. Mungkin yang ini tidak pernah diceritakan ayahku. Mungkin juga aku sudah jatuh tertidur sampai ke bagian ini. Si pendongeng tersenyum lemah padaku. Ia masih sakit. Tapi Ia tahu dongeng ini. "Buat apa kau dongengi seorang pendongeng?" tanyanya sambil terbaring. Kan Sang Pendongeng sedang sakit. Siapa tahu kau butuh pengantar tidur, jawabku.

Sang pendongeng tersenyum lemah. Sekarang ada lubang kecil lebam biru di tangan kirinya, dan luka besar di tukak lambungnya. Tapi suaranya masih terdengar di telingaku. Berbisik. Dongengnya kali ini aku yang bicara. Nawang Wulan harus bersusah payah memasak nasi, tapi apapun yang terjadi jangan telat makan. Hargai setiap serpih nasi di piringmu. Syukuri yang tak pernah kau syukuri. Kau disini berbagi rezeki dengan para tukang obat, perawat berbaju putih, dan tukang sapu yang membersihkan sakitmu. Semoga cepat sembuh. :)

Sabtu, 03 Desember 2011

Hari Ketiga. Memperkenalkan Si Putri Kecil.

Alkisah, hiduplah seorang putri kecil di Tanah Barat. Ya, Tanah Barat yang kemarin kuceritakan. Masih ingat kan? Dari sekian banyak penduduk yang hidup makmur dan nyaman di Tanah Barat, salah satunya adalah keluarga si putri kecil ini. Anak perempuan kecil ini merupakan anak bungsu di keluarganya. Ia lahir dan dibesarkan di Tanah Barat. Hal itu menjadikannya layak mendapat status 'pribumi' bagi Si Tanah Barat. Padahal, kedua orang tuanya pun awalnya adalah pendatang dari Tanah Tengah. Sang Ayah mengemban tugas yang harus diselesaikan di Tanah Barat sehingga Ia harus tinggal di sana. Sang Ibu pun dibawa serta. Si Putri pun tumbuh besar dikelilingi berbagai kenyamanan yang disediakan Tanah Barat. Ia minum airnya yang sejuk dan jernih. Ia makan berbagai sayuran hijau yang segar karena di Tanah Barat sayur-sayuran tumbuh subur dan melimpah. Hidup Sang Putri sungguh nyaman dan mudah. Kedua kakaknya pun sangat sayang padanya. Tanah Barat jadi alas kakinya. 

Bertahun-tahun Si Putri hidup di Tanah Barat dengan berbagai kenyamanan baru. Dia punya banyak sahabat dan saudara-saudara yang senantiasa meramaikan hari-harinya. Semuanya ada di Tanah Barat. Walaupun semakin lama jalan-jalannya banyak yang berlubang-lubang, atau beberapa tempat kesukaannya sudah hilang berganti keramaian, Ia tetap kerasan tinggal di Tanah Barat. Ya, seumur hidupnya Ia memang jarang bisa pergi kemana-mana. Jadi Ia tidak punya bayangan lain mengenai hidup selain di Tanah Barat. Bayangan-bayangan itu muncul hanya ketika kedua orang tuanya bercerita sedikit-sedikit mengenai Tanah Tengah, tempat asal kedua orang tuanya. Namun, tetap saja, mau semenarik apapun kedua orang tuanya bercerita, Ia akan tertidur di tengah-tengahnya. Sang Putri kecil mengantuk dan membiarkan cerita-cerita orang tuanya tentang Tanah Tengah merasuki mimpinya saja. Dan ketika Ia terbangun, maka matahari pagi Tanah Baratlah yang menyambutnya. Cerah dan sedikit berangin. Menunggunya memulai hari dengan kenyamanan yang ditawarkannya.

Sang Putri sendiri sudah beranjak remaja kala itu. Sedang menikmati kenyamanan senyaman-nyamannya. Dia sudah tidak peduli dengan sekitarnya. Terbuai kenyamanan yang tersedia berlimpah-limpah. Dia lupa. Sudah lama pula Ia tidak mendengarkan kisah-kisah orang tuanya tentang Tanah Tengah yang menurutnya membosankan itu. Sampai suatu hari, sedikit kenyamanannya terusik kala Ia mendapati ayahnya hilang dalam tugasnya. Ia bertanya pada ibunya dan kakak-kakaknya, tapi tidak ada yang bisa menjawab. Semenjak hari itu kenyamanannya pun berkurang drastis. Mau tidak mau kini Ia menoleh dan melupakan kenyamanan yang selama ini membuainya. Kakinya menapak lagi. Menemani ibunya. Walau masih dengan hati yang bertanya- tanya.

Hey Sang Putri! Bukankah sudah kukatakan sebelumnya, kenyamanan akan kehilangan artinya kalau sudah terlalu banyak? Seperti hal-hal lainnya. Kalau kau mendapatkan sesuatu dengan mudah, maka nilainya akan berkurang?

(bersambung) 




Jumat, 02 Desember 2011

Hari Kedua. Dongeng Tanah Barat.

Ini dongeng mengenai Tanah Barat. Tanahnya hijau dan subur. Gunungnya menyebar di seluruh arah mata angin. Penduduknya banyak dan kaya raya. Penuh kenyamanan dan keamanan. Pokoknya para penduduk di Tanah Barat ini hidup makmur dan tentram. Sehingga banyak sekali yang tidak mau meninggalkan tanahnya ini. Ya, siapa juga sih yang mau meninggalkan kenyamanan yang sudah tersedia? Belum lagi mereka yang benar-benar lahir disini. Berbagai alasan bisa dipakai asalkan mereka-mereka tidak beranjak dari Tanah Barat. Ya, sebagai pribumi yang merasa Tanah Barat adalah tanah kelahirannya mereka memang punya hak untuk bertahan. Masa mereka diusir dari tanahnya sendiri?

Jangankan mereka yang pribumi itu, Tanah Barat ini juga banyak sekali pendatangnya! Semuanya ingin merasakan kenyamanan dan kemakmuran, maka para penduduk dari tanah-tanah tetangga pun berdatangan. Ingin mencicipi betapa nikmatnya hidup di Tanah Barat seperti yang digembar-gemborkan itu. Namun apa arti kenyamanan bila Ia sudah terlalu biasa? Yang ada kau akan terbuai dan lupa.

Beberapa pendatang yang berotak bisnis bekerja sama dengan pribumi-pribumi lupa yang terbuai nyaman. Mereka beli bukit-bukit untuk tinggal dan berpesta. Mereka jual warisan-warisan leluhur dan membuat versi nyaman mereka sendiri. Lalu buaian lupa itu juga merasuki para penjaga Tanah Barat rupanya! Oh, oh gawat sekali. Seharusnya mereka menjaga Tanah Barat supaya tetap indah dan bersih. Tapi mereka sendiri yang membuang sampah-sampah tidak pada tempatnya, dan dibuatnya jalan-jalan berlubang. Yaa..mungkin bagus juga sih untuk membuat para penduduk yang lain tidak terbuai kenyamanan. Biarlah, biar mereka-mereka yang lupa saja yang tetap lupa.

Padahal jangan salah, Tanah Barat ini tidak seluas itu lho. Lama kelamaan Si Tanah Barat tidak akan cukup lagi menampung para penduduk dan pendatang yang banyak dan lupa itu. Tanahnya mulai bergoyang-goyang. Gunung- gunung dan bukit-bukit hijau yang mengelilinginya terkikis sedikit demi sedikit. Belum lagi jalanan yang berlubang-lubang itu. Semakin banyak yang melewatinya, maka semakin rusak jalan-jalan itu. Mereka yang bertugas memperbaiki sibuk bernegosiasi dan mencari apa yang bisa dicari. Para penduduk juga sibuk dengan kenyamanan masing-masing.


Oh, sungguh kasihan Tanah Barat. Umurnya renta sudah. Pasti puluhan ,ratusan, ribuan, jutaan, ah tak terhitung sudah yang menginjakkan kaki di tanahmu. Segala macam penyakit sudah dirasakannya. Tapi Tanah Barat masih terus memberikan hijau dan suburnya. Belum lagi kenyamanan yang dimilikinya. Biar Tuhan yang membalas, doamu. Karena manusia memang pelupa.


Kamis, 01 Desember 2011

Hari Kesatu. Sedikit Dongeng Tentang Dongeng.

Apa sih fairy tale? Artinya dongeng menurut beberapa terjemahan bebas yang kutemukan. Kata ibuku juga begitu. Dongeng? Seperti putri raja dan pangeran? Semua yang indah-indah? Bisa jadi. Tapi segala sesuatu kan sesuai dengan apa yang kau pikirkan. Kau bisa saja berpikir kebalikannya. Terkadang berpikir salah dan terbalik itu baik juga (Itu kalau kau bukan manusia berotak kanan). Dongeng tidak semuanya indah. Tapi tentu tidak seburuk itu juga. Coba saja. Dongeng-dongengku sewaktu kecil berlatar wayang. Itupun kadang tidak kudengarkan sampai selesai. Ngantuk. Tapi ayahku begitu suka pada wayang. Kalau itu fairy tale bukan? Hahaha, iya itu fairy tale versi Indonesia. Puteri-puterinya tidak kalah cantiknya. Lihat saja Dewi Shinta, Dewi Drupadi, juga Srikandi dan Kamaratih. Jangan lupa Dewi Nawang Wulan yang selendangnya dicuri Joko Tarub hingga tidak bisa pulang ke kahyangan. 

Waktu kecil kupikir dongeng itu muncul dengan sendirinya. Memang terjadi di suatu ruang dan waktu entah dimana. Tapi beranjak dewasa, aku kini tahu ternyata kau bisa membuatnya sendiri. Karena dongeng tidak melulu berarti puteri dan pangeran. Tidak melulu berisi keajaiban dan kutukan. Dongeng itu sebenarnya makna yang kau beri warna. Supaya senang didengarkan. Supaya dalam kau pikirkan. Maka disinilah aku, menulis dongeng selama tujuh hari (sudah terdengar seperti dongeng belum?) Bukan untuk mencapai kekuatan baru, bukan untuk menemukan harta karun, bukan juga untuk melepaskan kutukan atau apa. Tapi aku ingin menemukan makna dan memperkuat pijakan untukku sendiri. Karena itulah yang diharapkan para orang tua ketika mendongeng untukmu sebelum kau tidur (selain untuk membuatmu lebih cepat tidur tentunya). Sekarang aku mau cari peta harta karunnya dulu. Sementara itu kudoakan semoga pijakanmu cukup kuat. Dan semoga bantalmu sudah cukup nyaman. Selamat tidur. :)

Kitab Bhagawadgita