Aku capek. Lapar. Butuh mandi. Dan air. Mulai kuikat rambutku dengan karet gelang. Percuma mencuri keramas di sela-sela pagi. Rambutku kusut ditelan karet gelang. Kalau hanya karena sanggul Jawaku, aku masih memaafkan. Tapi kali ini tidak. Perutku mati. Entah berontak atau tanda protes. Aku butuh kamar mandi merah jambu dengan lilin-lilin beraroma cempaka di tepian bak. Sedikit saja ditambah sari bengkuang. Memang sejak kapan kamu mau jadi pekerja sosial?
Semua orang butuh makan. Aku butuh steak mahal. Atau yoghurt rasa buah-buahan yang hanya ada di mesin pembeku. Perutku akan merayakannya. Sepertinya. Bahkan bajuku lebih wangi dari diriku sendiri. Aku ingin menghitung kekayaanku. NOL BESAR. Kau tidak punya apa-apa. Memang apa yang kuharapkan? Setiap batu yang kutemukan dalam bungkusan makan siangku. Makan malamku. Bahan bangunan, kata pacarku.
Sekarang batunya luar biasa. Lengkap dengan gabah-gabahnya. Bahkan jauh dari putih warnanya. Aku cuma punya ini. Harga dua ribu lima ratus rupiah. Dengan perkedel dan sayur sop. Aku cuma punya ini. Untuk malam ini. Tapi atap di atas kepalaku dan kasur untuk tidurku. Itu karunia. Pengingat syukurmu, suara-suara menjawab di kepalaku. Terkadang terdengar sarkastik. Sinis. Menopang. Menjatuhkan. Aku dan serpihan manik-manik itu. Aku yang butuh dan terbuai kenyamanan. Aku sungguh ingin pulang. Mengadu pada ibuku. Menangis keras-keras. Gusti.. kembali ke rahim ibu pasti nyaman sekali. Melengkung meringkuk.
Ingat satu-dua adegan dari dua film keren untukku. Film yang kutonton bersama akar. Ibu dan rahimnya. Gigit-gigit telur dan menari-nari. Mau apa kau anakku?? Bukankah ini yang kau inginkan? Bukankah ini yang ingin kau lihat? Ini namanya hidup. Napasmu satu-satu. Dari setiap butir nasi yang kuberikan. Nafkahku dan ayahmu. Kusuapi. Kini kau punya sendiri. Apa air mata yang kau jadikan pelarian itu? Satu-satu setiap kau suapkan nasi itu ke mulutmu? Setiap hari? Setiap hari?? Kau tidak ingin sekalian kembali ke rahimku?? Ketawa-ketawa ibuku menawarkan. Dukanya siap menganga.
Selamat datang anakku, bisiknya. Ini hidup namanya. Kau akan lelah, lapar, butuh mandi, dan butuh air. Apa kau pikirkan itu? Atau masih steak dan yoghurt yang membeku di otakmu? Lilin beraroma di kamar mandimu? Duduk sambil membaca majalah dan bukannya semen yang langsung masuk ke got?
Aku sih tahu hidup itu bagaimana, tiba-tiba pikiran sombong berdatangan. Hidup itu susah, keras, penuh perjuangan, aku tahu semuanya. Lagi-lagi bicara kosong dan sombong.
Tapi aku tidak ingin menghukum diriku sendiri sepertimu. Seorang sahabat menghantam tengkukku dengan benda tumpul sambil bicara itu. Mataku berputar-putar. Pusing. Sstt, aku pura-pura pingsan saja. Lelah. Otakku hanya aku yang mengerti. Yah, selain nasi seharga dua ribu lima ratus rupiah itu. Aku cuma punya otak. Iya kalau mereka bisa lihat. Aku capek beri pengertian. Terserahlah. Toh aku yang bangkrut. Mampus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar