Ini hari ketiga. Pikiran-pikiran ini-jalan-yang-dia-pilih-terus menerus disini. Berdiam diri bersama beberapa orang lainnya. Mereka yang memilih untuk bisa hidup dengan perjuangan yang sedikit lebih dari yang lain. Hmm, perjuangan yang sedikit lebih atau memang tidak ada jalan lain di negara ini. Berbatas ijazah dan surat-surat. Apapun itu. Jalan memutar, kata temannya. Memang dia yang aneh, atau entah bagaimana. Dia sendiri tidak bisa menjawab. Memilih jalan yang sulit di tengah berbagai kemudahan.
Jalan memutar memang. Ah, tapi untuk menuju kesini dia melihat banyak kehidupan. Dia lihat kelelahan orang-orang. Pekerja-pekerja yang keluar di jam yang sama. Massal dan seragam. Berebut sebungkus nasi dengan para pekerja berbaju biru. Di pinggir jalan berdebu dan penuh truk. Dilirik buruh-buruh yang kebosanan dan kelelahan. Bau matahari. Debu. Oli mesin. Polusi suara sampai kepalanya berdentum-dentum keras. Pusing. Apalagi kalau sedang sakit gigi. Mau mampus rasanya.
Jam-jam di kartu absennya, merah dan hitam. Terlambat atau kepagian. Permisi Pak Bos, saya numpang mandi, air di rumah saya mati. Dia mengikat diri dengan kamar mandi di ruangannya. Tergantung berhari-hari. Hidup seminggu tanpa air sendiri. Jadi tahu bagaimana rasanya. Bukan penonton lagi Ia. Segala rutinitas yang dilakukan setiap hari. Seperti adegan sebuah film. Ia ingat sekali film patah hatinya. Ditonton untuk ditangisi. Sekarang Ia di dalamnya. Bergerak lambat. Menonton film itu membuatnya menangis. Tapi ternyata berada di dalamnya tidak membuatnya menangis. Tak ada waktu menangis lagi. Sewaktu menonton film itu dia pasti sedang menganggur. Gak ada kerjaan, batinnya.
Apa boleh buat, sekedar menikmati patah hati saja. Sampai terbuai dua tahun lamanya. Sekarang Ia berada di film itu. Bergerak. Tak ada waktu menangis lagi. Apalagi sambil duduk-duduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar