Rabu, 21 Juni 2017

Terkadang Lupa

Bagaimana manusia bernapas. Satu per satu. Kamu tahu rasanya tidak akan melihat seseorang lagi. Sampai kapanpun. Selamanya. Entah kapan bertemu lagi. Atau memang tidak akan bertemu lagi. Lagi-lagi kematian.

Bagaimana perubahan. Menerpa diri kita. Bagai daun diangin-angin. Ketika kamu menengok ke belakang. Semuanya sudah hilang. Entah kapan bertemu lagi. Atau memang tidak akan bertemu lagi. Lagi-lagi kehilangan.

Ah.
Aku ingin.
Menari.
Menggambar.
Melukis.
Menjahit.
Menyulam.

Mencium.
Memeluk.

Hati.
Rasa.

Raga.

Waktu yang tak kembali. Orang-orang yang kamu sesali.





Rabu, 17 Juni 2015

Selasa, 16 Juni 2015

Tentang Berhenti, Perhentian.

Lempuyangan, Yogyakarta. 2013, ba'da Shubuh.

Dulu kamu pasti tidak tahu tentang sebuah perhentian. Kamu belum berhenti, Sayang. Mampir sebentar mungkin. Tapi tidak akan pernah benar-benar berhenti. Sampai waktunya.

Yang kau singgahi kini bukanlah perhentian. Tapi kamu harus berpegang erat padanya. Supaya tidak jatuh ketika kamu harus berhenti mendadak. Berpeganglah erat. Kelak kamu tak akan mendapat kekuatan yang sama lagi. Berpeganglah erat. Dan lihatlah lurus ke depan. Karena aku sangat tahu betapa lelahnya lehermu menopang ke belakang.

Kamu berubah. Perhentian buatmu pasti berubah makna. Asal jangan kau jadikan itu salah paham. Terkadang perhentian memilih sendiri waktunya. Kamu tak tahu mana yang akan Ia jadikan stasiunnya. Perhentian tidak main-main. Dan ingatlah sekali-kali, kamu tidak pernah akan benar-benar berhenti. Cuma kamu yang tahu kapan harus berhenti dan berpegangan erat-erat. Jangan lepas lagi.

Kadang kusebut itu kemampuan untuk tahu kapan harus berhenti. Tidak banyak yang menguasainya. 

Senin, 30 Juni 2014

Sebelum Satu.


Dulu dia rajin tersenyum. Berkali-kali hatinya tak sampai, tapi dunia masih berwarna di matanya. Semakin tuakah hatinya? Semakin lelahkah rasanya? Bukankah kamu akan selalu begitu? Merindukan yang sudah terlewat. Masa dan usia yang lebih muda? Topengnya semakin tebal Ia rasa. Tak hanya di muka. Tapi juga seluruh tubuh. Ia memakai kostum sekarang. Lengkap dengan tirai-tirai penutup panggungnya.

Take a bow, the night is over
This masquerade is getting older
Light are low, the curtains down
There's no one here


 Berdoa. Itupun Ia lupa caranya. Entah sudah berapa lama. Semuanya berubah untuknya. Tidak lagi sederhana dan manis. Hatinya kini rumit. Berusaha menemukan cara menghindari pahit tanpa air mata. Dan suara-suara mulai mengganggunya. Tak ada lagi pagi atau malam atau sore. Hari-harinya semu. Ia ketakutan. Kesunyian yang dicarinya. Cara menghilang tanpa perlu dilaporkan. Ruangan kosong hanya dia dan dia saja. Tempatnya menghampakan diri. Tak perlu berusaha. Tak perlu berpikir atau berbuat. Dia terlalu lelah?

Pertanyaan kecil namun klise. Pada akhirnya toh semuanya hanya lelah. Pada akhirnya setiap manusia pasti akan lelah. Ada yang menyerah dan menjemput waktunya. Ada yang bersujud lalu bangkit lagi. Ada yang melarikan diri dan menggila. Manusia lelah bisa jadi mengerikan. Manusia lelah membawamu ke ambang kegilaan. Tapi kamu belum lelah. Dia belum lelah. Hanya hatinya terlalu banyak bertanya. Terlalu banyak yang dirasakan selama dua puluh tujuh tahun.

Duka sendiri, duka orang lain, duka semesta, duka alam raya. Sedari dulu Ia selalu menempatkan beban sendirian pada pundaknya. Padahal tak semua bisa dipikul. Ia terlalu sering mengambil salah pengertian sebagai timbangannya. Padahal salah tak selalu bisa dijadikan kambing hitam. Dan dia terlalu berharga untuk bisa mengerti itu. Dia lupa harganya sendiri. Mahal tak terperi. Tapi sayang, Ia sudah lupa.

Maka jangan gila, lihat dia terus-terusan berduka. Ia si penyerap semua kedukaan yang ada. Kesedihan itu temannya. Jangan tambah lagi bebannya. Aroma air mata sudah seperti parfumnya. Wanginya menempel di ujung hidungnya yang merah. Air mata menjadi tak berharga lagi ketika kamu terlalu sering sedih. Hanya dadamu yang sedikit lega. Tapi hatimu masih begitu saja. Berkardus-kardus duka milik alam semesta terus-terusan bertumpuk di benaknya.

Hei, itu bukan hanya dukamu. Jangan kau tangisi sendiri.

Rabu, 25 Juni 2014

Malam itu.

Semuanya berubah. Sesimpel itu. Sampai saat ini masih maaf yang ingin terucap. 

Malam itu, terduduk dalam kesunyian yang nyaman. Lalu dia berkata, "selamat kembali pulang"

Entah kenapa saat ini tidak terdengar begitu nyaman. 



Minggu, 13 April 2014

Pulang.

Semacam filosofi tentang pulang. Entah kenapa saya menulis ini ketika saya benar-benar berada di dalam rumah. Duduk nyaman di dalam kamar. Tapi hati saya masih berjalan jauh entah dimana.

Mungkin memang terlalu dini untuk berbicara kamu pulang. Kamu tidak akan tahu kapan kamu akan benar-benar pulang. Terlalu jauh kalau kamu menganggap kamu tahu bahwa kamu pulang. Dulu saya begitu. Merasa pulang hanya dengan pulang ke rumah. Tapi pulang lebih dari itu. Pulang bernilai jauh dari sekedar jarak atau tempat. Pulang itu rasa. Makna. Cuma hati yang tahu kapan pulang itu pulang.

Kamu ingat? Memorimu hanya membohongimu. Otakmu menutupi rasamu. Pulangmu masih tak tahu dimana. Pulangmu lebih dari rasa. Masih mau dinanti?

Minggu, 25 November 2012

Catatan Dari Kereta.


Bagi saya kereta api itu seperti anak laki-laki nakal yang manis. Nakal tapi merindukan. Matanya jeli dan bersinar-sinar. Tapi kulitnya penuh debu. Habis berlarian main seharian. Tidak apa-apa, saya suka. Ingin dipeluk rasanya. Nyaman seperti pulang ke rahim ibu.

 Cahayanya temaram. Lihat kan, dia seperti bocah kecil lincah dan menggemaskan. Kakinya kotor terkena tanah. Perjalanan yang selalu membuatnya bersyukur.

Sang Kepala Stasiun seperti seorang ayah. Dia senantiasa berdiri tegak sekecil apapun stasiun miliknya itu. Membawa lampion merah-hijau dan plang bulat berwarna oranye neon. Berdiri tegak Ia seakan mengantar anaknya sendiri. Menyapa kami yang ada di dalamnya. Ramah sekali.

Sang Anak bermata jeli dan bergerak lincah. Menundukkan kepalanya penuh hormat. Berbunyi peluit keras. Pengumuman merindukan. Menantikan pulang. Kamu tidak bisa tidak akan jatuh hati pada setiap memori yang ditinggalkannya. Aroma dan udaranya.



 "Hey Kereta", saya menyapa. Wajahmu begitu ramah. Penuh debu dan luka. Tapi tetap lincah. Karena bagi saya kereta api itu seperti anak laki-laki nakal yang manis. Nakal tapi merindukan. Tidak bisa tidak. Saya jatuh cinta. Pada matanya yang jeli. Lincah dan menggemaskan.


Ketika kereta baru mulai bergerak, goyangannya membuaimu. Membiusmu ke masa lalu..
Tunggu saya ya.. Ini saya mengemasi barang-barang. :)