Sudah saatnya Si Lelah ini berhenti. Lihat Ia terjatuh penuh air mata di hadapan lemah dan kotor. Lambannya membatasi. Uangnya menghentikan. Hatinya lemah. Tubuhnya kotor. Siapa lagi kalau bukan Si Lelah itu.
Ia percaya pada Tuhan. Satu, dua, tiga, empat, lima lapis membalut di tubuhnya. Kurang tebal juga rupanya. Kurang tabir yang masih tak Ia kuasa. Si Lelah semakin lemah dan kotor. Lelah, lemah, dan kotor. Masih belum cukup rupanya. Kehilangan menjadi tumpuannya. Lihat Ia menangis meraung-raung di kamar mandi pink yang biasanya menjadi tempat bernostalgianya. Si Lelah kehilangan.
Matanya mati dan lebam. Tak ada arti lagi air matanya. Tak cukupkan Ia menampung lemah dan kotornya. Hatinya penuh. Ia harus terus berdirikah? Sendirian. Si Lelah tak berkawan. Sudah cukup menyedihkan dalam dirinya. Terlalu menyedihkan. Kehilangan itu temannya.
Lihat kehilangan menari-nari di atas kepalanya. Si Lelah jatuh berlutut. Takluk. Kehilangan semakin menari-nari. Menyuarakan kerinduannya yang ternyata lebih rindu lagi akan hilang. Air liurnya menetes-netes. Air matanya menyatu. Ia berteriak tapi tak bersuara. Kotor dan lemah.
Si Lelah mengambil wudhu. Basah membasahi. Jiwanya kering. Hatinya lemah. Tubuhnya kotor. Mau minta apa pada Tuhan? Lebih dari cukup Ia sudah mencurigai kebahagiaan. Mengkhianati kenyamanan. Tak percaya pada kesempatan. Menyia-nyiakan kehadiran.
Lelah.
Lemah.
Kotor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar