Trying to remember where it all began
Inilah kota tempat engkau bisa menjadi orang dikenal tanpa perlu terkenal. Selebriti lokal, begitu kata mereka. Kota ini bagaikan planet mungil yang membulati seluruh hidupmu. Kenangan taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi dapat kau kitari hanya dengan 30 menit berkendara. Dan sekalipun waktu telah membentangkan puluhan tahun sebagai jarak, tebaran wajah dan tempat itu mencuat laksana pembatas buku. Setiap kali mengecek, jejak akan siapa dirimu tak pernah hilang.
Inilah kota dengan prasarana yang berkembang frantik dengan pola carut marut. Sebagai penyeimbang, dianugerahkanlah kantong-kantong pergaulan yang berkembang teratur dan terpola cantik laksana sarang laba-laba. Orang-orang lama, orang-orang baru, dan orang-orang yang akan datang, terjalin rapi oleh benang-benang tak terlihat namun dapat dirunuti begitu engkau menjejak di atasnya. Cukup satu untuk tahu semua, begitu kata mereka lagi. Dan kau tak pernah tahu pertemuan mana yang akan membawamu ke manusia kunci seperti itu. Selebriti lokal. Manusia yang akan membuka gerbang terhadap sejaring selebriti lain. Sampai satu saat, disadari atau tidak, kau bertranformasi menjadi salah satu dari mereka.
[Dee, Supernova episode Petir]
Dua paragraf di atas saya sadur dari buku Supernova edisi Petir karya Dewi Lestari. Menurut saya tulisan di atas merupakan penggambaran yang tepat bagi Kota Bandung sesuai dengan apa yang berputar di kepala saya selama ini. Dewi Lestari yang bisa memaparkannya dengan tepat. Saya? Saya terlalu bingung menyusun kata-kata.
21 tahun lebih saya tinggal di kota ini. Beberapa kali mencoba keluar melalui berbagai jalur, program beasiswa, program pertukaran pelajar, program les Bahasa Inggris, bahkan kuliah kerja praktek yang hanya berjarak 2 jam lewat Tol Cipularang. Tak ada yang direstui, saya tetap tinggal disini. Menghirup aroma hujan, dan duduk di angkot yang berputar-putar. Kota ini seperti tempurung bagi saya. Orang-orang baru dan lama datang dan pergi, tapi saya tetap disini.
Fenomena yang menarik bagi saya bila mengingat bahwa di kota ini saya mengenal orang-orang yang tadinya tidak ada disini. Saya yang berdiri disini terus, mereka yang datang. Atau orang-orang yang tadinya ada disini tapi sekarang tidak ada lagi. Saya disini terus dan mereka yang pergi.
Menarik bagi saya bila bertemu beberapa teman lama, ternyata si A kenal dengan si B yang ternyata sahabatnya si C yang juga pacarnya si D yang ternyata sepupunya si E dan ternyata masih kenal sama si F yang temen SMPnya si G. Belum lagi kalo udah reuni SD, atau SMP, atau SMA, ternyata temennya si ini, si itu, si anu ada yang jadi temen kuliah saya. Jaring laba-laba khas kota seperti Bandung yang seperti planet kecil. Tepat seperti paparan Dee. Di kota ini juga saya melihat bayangan saya yang berubah. Sejak saya kenal si ini, saya menjadi begini, semenjak saya kenal si itu, saya berubah lagi. Bukankah menarik betapa lingkungan sosial membuat kita berubah walau kondisi geografis tetap? Betapa setiap lingkup pergaulan merubah saya dengan arusnya walaupun saya tetap disini? Di rumah yang sama semenjak saya SD? Dengan jurusan angkot yang itu-itu saja semenjak saya kecil? Bahkan jarak sekolah yang bisa dikitari dengan hanya 30 menit berkendara (kalau tidak macet gara-gara factory outlet) seperti kata Dee?
Menurut saya Bandung tidak berubah, yang berubah adalah orang-orang yang ada di dalamnya. Pohon pinus diganti billboard, rumah tua Belanda dengan aroma kertas tuanya dijadikan factory outlet, Kartika Sari buka cabang dimana-mana dengan gedung 2x lipat besarnya, becak diganti ojek, taman jadi pom bensin (walau ada yang sudah dirubah lagi), dago atas jadi ‘pabrik’ kafe dan restoran, 17-19 derajat celcius jadi 25-27 derajat celcius, Babakan Siliwangi yang mau dijadikan mall??
Aaahhh,,,saya kangen Bandung yang dulu…Bandung yang setiap kita buka jendela tercium aroma wangi pinus asli dari pohonnya. Bandung yang sejuk sampai saya rindu sinar matahari. Bandung yang tidak seramai sekarang. Saya kangen Hegarmanah dengan rumah-rumah tuanya. Saya kangen Dago Tea House yang masih terawat rapi. Saya kangen Kebun Binatang yang di depannya ga ada tempat sampah. Bahkan saya kangen ruas Tamansari-Sumur Bandung belakang ITB kosong tanpa mobil-mobil yang parkir sehingga saya bisa makan es campur dengan tenang di Dayang Sumbi. Saya kangen jalan Suci dengan pohon-pohon besar di pinggir-pinggirnya.
Banyak yang berubah. Orang-orang berubah, waktu berubah. Tinggal kita yang berpikir, mana yang harus diubah dan mana yang tidak. Dengan kemampuan manusia yang sudah di anugerahkan Tuhan untuk berpikir seharusnya kita tahu mana yang harusnya berubah dan tidak usah diubah. Demi Bandung yang lebih hijau dan demi kita yang hidup di dalamnya.
Shes got herself a little piece of heaven
Waiting for the time when earth shall be as one
And I feel like I just got home…[ray of light-madonna]
picture from here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar