Sabtu, 30 Mei 2009

Catatan Satu Mei

Sekitar 20 tahun lalu Ia masih berjalan tegak, tersenyum penuh kebanggaan saat diketahuinya saya hadir, sehat dan bahagia. Dengan kedua tangannya yang kuat Ia menggendong saya, mengitari rumah berkeramik kuning tua itu. Menghirup udara pagi sejuk yang penuh aroma pinus di Hegarmanah. Membantu ibu saya yang letih karena lemah. Melupakan stress pasca pensiunnya karena Ia mendapat hadiah yang tak terkira. Hadiah itu adalah saya, begitu selalu ujarnya pada saya.

Saat itu usianya 59 tahun, dan saya berumur 1 tahun.
Baru pertama kali melihat dunia.


Saya bermain dengannya di halaman rumah tua kami yang luas.
Yang aromanya sepanjang yang saya ingat berbau seperti kertas-kertas lama. Ia menarik saya di atas pelepah daun kelapa, Ia mengajari saya menaikkan layang-layang, dan bahkan mengajarkan saya berdansa cha cha dan waltz. Terkadang bernyanyi Jepang yang saya tak mengerti maknanya. Mengobrol bahasa Belanda dengan Pak De dan Bu De saya. Lalu mendongengkan cerita dengan bahasa Jawanya. Dongeng Bitutunu dan Si Buto Ijo pengantar tidur.

Hampir setiap malam, saya tertidur di sampingnya. Terkadang saya digendongnya pindah ketika saya ketiduran dan merepotkan ibu saya yang sedang sakit. Ia lalu menemani saya hingga jauh pagi. Membukakan jendelanya yang besar dari kayu, dan membiarkan saya menghirup aroma pinus di pagi hari.


Ia membantu saya menyortir buku-buku bergambar bekas kakak-kakak saya untuk dibawa ke perpustakaan kecil di sebelah rumah. Setiap Minggu pagi saya akan sedia dan berlari menuju perpustakaan itu untuk menukar buku bergambar saya dengan yang lain. Pukul sembilan Ia akan menjemput saya dan mendengarkan ocehan saya tentang apa telah saya lihat.



Di hari-hari kerja, saya selalu menangis di depan pintu meratapi ibu saya yang berangkat kerja.

Namun, Ia selalu membuat saya tertawa lagi. Banyak hal yang kami berdua lakukan ketika di Ibu pergi kerja dan kakak-kakak bersekolah. Hanya saya dan Ia yang tahu. Kami membangun dunia kami sendiri.


Sorenya, ketika tiba waktu Ibu pulang kerja, Ia menyalakan mesin Corona putih D 403 BVnya, dan mendudukkan saya yang mulai uring-uringan ingin bertemu ibu di jok sampingnya. Lalu kami pergi ke kantor ibu. Ia akan melaju kecepatannya, dan saya akan berdiri di sampingnya, berlagak terbang.

Rupanya Ia juga rindu pada Ibu saya.


Lalu, saya mulai merasa aneh, kenapa rumah saya sepi sekali.Kakak-kakak seperti sibuk dengan dunianya masing-masing. Yang satu setiap hari pergi di pagi hari dan baru pulang sore sekali dengan tumpukan kertas yang banyak. Setiap hari selalu bilang ujian dan tugas. Dan yang satu lagi pergi di pagi hari juga, namun selalu memakai pakaian yang sama setiap hari. Atasannya kemeja putih, dan bawahannya celana pendek biru. Dan bila pulang di sore hari badannya dekil sekali, lalu segera tertidur. Ketika itu Ia juga ada untuk saya, menghilangkan hari-hari sepi yang tidak saya mengerti konsepnya. Tak mengerti kenapa yang lain selalu pergi sedangkan Ia selalu ada.

Saat itu saya tak mengerti istilah pensiun.


Tak berapa lama, Ibu saya berhenti bekerja. Saya bahagia tak terkira. Dia juga. Kami berdua diam-diam merayakan bakal kehadiran Ibu di setiap harinya. Tak terhingga kebahagiaan kami karena orang yang paling kami sayangi akan selalu ada nantinya.

Mungkin Ia juga sedikit lega karena takada lagi tangisan saya di depan pintu setiap Ibu harus berangkat kerja. Ia tak harus lelah menggendong saya untuk menenangkan saya lagi. Ia akan bisa tidur siang lagi tanpa harus menunggui saya yang susah sekali disuruh tidur siang. Ia juga bisa membaca Koran di sore harinya dengan tenang tanpa harus memenuhi permintaan saya untuk menjemput ibu.


Ketika saya mulai bersekolah, Ia dengan setia selalu menjemput saya dengan Corona putihnya. Saya masih ingat tangan tuanya yang kuat menyetir di samping saya. Terkadang kami berjalan pulang melalui jalan Terobosan. Melewati jalan yang saya ingat seperti lembah dengan pohon-pohon besar dan akar gantung. Terkadang bila Ia lelah, bergantian dengan Ibu mereka akan menjemput saya pulang. Bila ibu sakit, Ia akan mengurusi berbagai keperluan saya. Ia menjemput saya ketika saya nakal dan saya masih ingat dengan matanya yang tegas.

Bila Ia marah saya takut sekali. Lalu saya akan dihukum berdiri di tengah ruang tamu sampai sore. Ibu pun tak berani melawannya.


Lalu dimulailah masa-masa dimana ternyata Ia dan Ibu mulai kesulitan, rumah tua kami yang ramah dijual. Saya akan merindukan halamannya yang luas, pohon-pohon pinus yang wangi dan indah, udara sejuk yang ramah, pelepah-pelepah daun kelapa permainan saya bersama dia, jendela besar yang selalu dibukakan olehnya setiap pagi, dan aroma kertas tua di rumah tua kami. Saya hidup selama kurang lebih delapan tahun disana. Delapan tahun penuh kebahagiaan dan keramahan yang paling alami yang pernah saya rasakan sepanjang hidup saya.


Kami pindah ke daerah Dago pada sisa tahun itu. Dan sejak saat itu, saya selalu yang paling akhir dijemput di sekolah saya. Ia mulai kelelahan menyetir jauh. Dan saya mulai kesal. Saya tidak mau mengerti. Lalu tak berapa lama kemudian kakak saya yang pertama menggantikan posisinya. Ia berhenti menjemput saya dari sekolah. Kini setiap hari, kakak sayalah yang menjemput. Saya sedikit kehilangan, karena tak ada lagi tangan tua yang kuat menyetir di samping saya lagi.

Lalu ketika saya sakit dan harus meminum obat puyer pahit berwarna merah selama tiga bulan berturut-turut, ia yang selalu memerintah saya dengan tegas. Saya takut, dan dengan sekejap obat itu telah habis saya minum.Selama tiga bulan saya dicekoki pengetahuan kesehatan olehnya. Saya kesal sekaligus sayang padanya. Toh, tenggorokan saya yang meradang akhirnya sembuh juga. Dia ikut senang karena saya tidak harus minum obat lagi. 


Sekitar 10 tahun yang lalu, Ia yang mulai kelelahan selalu membuka jendela besarnya (yang dibawanya dari rumah tua kami) di pagi hari. Sayang sekali di rumah kami yang baru tak ada lagi pohon pinus yang wangi, namun tepat didepan jendela besarnya itu Ia menanam beberapa tanaman yang berhasil di stek-nya dari halaman rumah tua kami dulu. Dan Ia menghirup aroma paginya. Ia akan berjalan pelan-pelan di bawah sinar matahari pukul delapan atau sembilan sambil memetik daun-daun kering di tanamannya. Menyapa tetangga-tetangga yang lewat dengan ramah, dan mengambil Koran dari teras. Bila hari Minggu tiba, saya akan diajaknya mengikuti rutinitasnya, walau terkadang saya lebih memilih tidur di kamar saya sampai siang.

Lalu Ia akan mengajak saya memancing semut dan bermain undur-undur di halaman rumah baru kami yang kecil. Bila sore hari tiba, saya diharuskan membawakan sepoci teh yang harus disajikan dengan istilahnya yang disebut nasgitel atau panas, legit, dan kentel. Lalu ia akan memasang film-film kartun di TPI. Walau saya memaksa saya ingin menonton MTV di Antv. Dia tidak akan bergeming dan akhirnya saya akan menonton Mojacko dan si Unyil.

Di ulang tahun saya yang ke-9, Ia dan Ibu membelikan saya sebuah electone. Ia ingin saya bisa memainkannya, dan saya diberi les privat. Kemudian, ketika saya telah bisa memainkan “Song Of The Beach”, dengan gembiranya Ia meminta saya memainkan lagu itu terus dan Ia bernyanyi di samping saya. Suaranya merdu sekali.

Ketika saya menangis karena bermasalah dengan sekolah saya, Ia akan duduk disamping saya dan dia menceritakan pada saya tentang perjuangannya dulu sebagai tentara pelajar saat melawan Jepang. Saat itu saya merasa bangga dan melihat masalah saya dari sudut yang lain. Saya merasa malu menangis karena Ia adalah pahlawan. Dan sangat memalukan saya menangis di depannya. Tak jarang saya berbeda pendapat dengannya, betapa saya merasa Ia sangat kuno dan ketinggalan zaman. Disaat teman-teman saya berlibur dengan keluarganya ke tempat-tempat yang keren dan jauh, disana mereka akan mandi matahari, atau berjalan-jalan sampai lelah, maka saya hanya akan duduk di rumah, membicarakan tata krama, nonton film kartun sepanjang sore, bermain undur-undur, dan ‘medang’(minum) teh nasgitel karena Ia terlalu tua dan lelah. 

Ibuku akan duduk setia di sampingnya dan Ia akan mendongengkan wayang untuk saya.

Saat saya kecil hingga saat itu, saya punya kebiasaan unik, yaitu saya selalu menatap lekat-lekat punggung Ia dan ibu setiap kali mereka tertidur hanya untuk memastikan bahwa mereka bernapas. Karena entah kenapa saya takut mereka memiliki kesempatan itu lebih banyak dari apa yang mungkin teman-teman saya miliki.

Dan ketika waktunya tiba. Ia bahkan tidak tidur di samping saya lagi. Saya tidak sempat memperhatikan punggungnya lekat-lekat. Yang ada di sampingnya hanya sebuah mesin, dan saya hanya berdiri di luar ketika napas itu hilang. Malam itu saya hanya melihatnya tersenyum pada saya. Tersenyum pada ibu, dan pada kakak-kakak saya. Saya tidak melihat napasnya di punggungnya yang lelah. 


Saat itu usianya 75 tahun. 
Dan saya hidup dengannya selama 15 tahun lebih 8 bulan. 
Itu terakhir kali Ia melihat dunia. 

Dia adalah ayah saya.



[Untuk ayah saya yang
tercinta, 1 mei 1928- 1 Mei 2008

Happy birthday,Pa!!]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar