Baru kemarin kaki kananku terasa bisa diangkat lagi setelah sekian lama terinjak olehmu, dan aku berjalan dengan sebelah kakiku saja.
Lalu kau mencuri maaf dengan mencuri kalimatku. Saat itu saja, aku merasa ringan, terhargai setelah sekian lama, setelah semua hal yang terasa. Setelah lelah sekali berjalan pelan-pelan dengan satu kaki saja. Hanya dengan pencurian kalimat dan penandaan nama pada catatan, aku sedikit ringan.
Tapi, semenjak kamu menginjak kakiku, aku tak pernah percaya lagi pada keringanan. Maka tak kubiarkan aku melayang dengan sedikit keringanan ini. Aku akan membebaninya dengan bekas kakimu lagi. Supaya aku tak cepat terbang tapi tetap bisa berjalan pelan.
Sayangnya, separuh jiwaku itu ibuku, bukan kamu, aku tak bisa menuliskan itu seperti apa yang kamu miliki. Yang punya lagu-lagu untuk dinyanyikan. Yang namanya sama dengan nama ibuku. Yang aku tak mau tahu rupanya seperti apa.
Saat ini aku masih terus berjalan di atas kakiku sendiri. Bahkan menari. Berbulan-bulan sampai kakiku koyak pun tak apa, mungkin masih bertahun kedepan. Dan kau, setiap hari kulihat kamu tak kelelahan berjalan. Memutar roda yang memang tak kumengerti. Sering kesal aku rasanya, tapi itu hanya rasa pembodohanku untuk kakiku yang dulu sering berjalan berjejer dengan kakimu, sebelum kakimu mulai menginjak pedal-pedal itu.
Masih kuingat sore-sore saat aku melihat kakimu yang lain, yang tak menginjak kakiku, berjejer dengan kaki yang punya lagu itu. Yang tak kusadari telah mendampingimu dalam kerja yang sudah lama. Menuliskan untukmu saat aku tidak bisa melakukan apapun untukmu. Ingin berbuat sesuatu untukmu tapi tidak bisa karena kau rupanya sudah terlalu sibuk dengan malam-malam patah hatimu. Saat itulah kamu dengan kerasnya menginjak kaki kananku. Maka dengan terpaksa aku mematahkannya, dan berjalan dengan yang satu lagi saja.
Kakiku yang satu ini tidak bisa membantuku berlari, juga tidak untuk melompat-lompat. Tapi aku bisa menari. Maka aku akan terus menari, maaf aku tak bisa menyanyi...
Aku menari dengan kakiku yang satu itu.
Aku mengukir kaca dengan cerita-cerita milik kakimu yang menginjak kakiku yang satunya.
Aku menamatkan semua dengan kakiku sendiri. Benar-benar sendiri.
Bahkan berjalan dalam arak-arakan tanpa bantuan. Dengan kau di sisi depanku. Dengan milikmu yang memakai bawahan ungu.Tertawa aku menertawakan diri sendiri saat itu. Aku yang seharusnya merasa raya saat itu, tapi kurasa merayakan untukmu. Tak kurayakan sedikitpun tertawamu. Kembalikan kakiku.
Aku melewati jalanan di depan rumahmu untuk bekerja dengan kakiku sendiri. Sementara rodamu akan meluncur dengan mulusnya membawamu ke malam-malam hingar tempat kau habiskan ruang-ruang kosong di kepalamu demi mendapatkan warna. Dan pemilik lagu itu ada di sebelahmu. Mungkin Ia lebih tahu bahwa kamu tak suka kismis. Bagaimanapun aku lebih suka mencari makna daripada warna.
Sebentar lagi 25 Oktober. Aku tahu kau tak mementingkan tanggal dan waktu. Tapi bagiku merayakan tidaklah buruk. Ini hadiah dariku. Untukmu dan pemilik lagu. Penulis malam patah hatimu, yang namanya sama dengan nama ibuku, yang sampai sekarang pun aku tak mau tahu rupanya.
Aku tahu ini hanya membuat bias makna. Bukankah kau juga melakukan yang sama di malam 31 Agustus. Di pelataranku sendiri kau sengaja menumpuk kata, melemparkan dan membiaskan semua maknanya hingga aku tak mengerti apa yang kau maksudkan. Bertiga dengan sahabat-sahabatmu, disitu mulanya kau menimbang-nimbang sepatu apa yang cocok kau gunakan untuk menginjak kakiku. Dan rupanya sepatu itu tepat kau pilih, karena terseok-seok aku dibuatnya. Tinggal menunggu kurang lebih 2 bulan, maka patah kemudian kakiku kau injak.
Maka aku merayakan 25 Oktober ini, ingatkan sudah 1 tahun aku menari dan berkarya di atas kakiku sendiri yang satunya sudah kau injak dan patah.
Sampai jumpa di episode yang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar