“Tapi aku ingin meringankan lara”, bantahku. Teringat gumamannya menyanyi ilir-ilir. Perasaan yang tidak mungkin kurasa lagi. Itu bukan sebentar namanya, tapi pulang.
Suatu saat aku akan menganggapnya tempat berteduh. Sama seperti kampusku, dan bulan-bulan terakhir itu. Kala hatiku biru.
Kini, langkahku tak lagi jauh. Tak pernah lagi kuberbelok ke arah biru itu. Pudar sudah, ketika kucoba pulang lagi, tanpa perlu meneteskan air mata pun, aku tak pernah menatap rasanya lagi.
Padahal hati ini menanti biru, tapi yang kutemukan hanya bungkus kue manis bermerk lama yang aku lupa namanya.
Tertinggal langkahnya, tapi tak kulihat birunya. Kukira tempat berteduhnya bukan disini, walau menyenangkan menemukan warna-warna Jawa bersamanya. Lalu ingat kala Ia berhitung untukku. Atau ketika kunci tak menemukan induknya. Roda-roda berputar dengan suara gaduh saling mengisi. Tertawa menangis.
Pernah sama tempat berteduh yang satu ini untuk kami, tapi tak pernah begini silang. Aku tak pernah tahu ketika Ia duduk disini, walau mungkin saat ini aku terduduk di tempatnya.
Ingat, sambil makan kue sisa buah tangan ibunya. Sambil jelajahi waktu, sambil dengar nuansa. Yang masih kuulang-ulang, yang pernah kuberikan juga padanya. Walau entah masihkah dibawa pulang olehnya.
Baginya langkah tentu masih jauh, tak perlu Ia beri rindu sepertiku. Karena aku yang memilih untuk tidak perlu berjalan jauh lagi, aku yang rindu tanpa ringan lara. Ingin pulang, tapi berat melangkah. Tak tahu harus belok kemana.
Kue manis itu sudah hilang rasa, hilang pula kotaknya. Dasar bodoh, kenapa tak kau simpan kotaknya! Tapi memang terlalu, aku masih terus melangkah. Bukankah sudah kau ucapkan padanya untuk jangan lagi pulang..
Tapi kenapa nuansa terus mengganggu? Aku ingin ke rumah, kataku. Rasanya rindu dengan nuansa itu. Tapi ayahku sudah tiada. Lagi-lagi teringat ilir-ilir.
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo seba mengko sore
Aku memang hanya melihatnya kala itu. Ketika kami berkumpul pulang, perayaan untukku tanpa Ia beri ucapan. Buat apa, toh dia yang membawaku serta hingga perayaan itu layak kuikuti. Lalu dia pergi, tak meringankan lara sama sekali.
Tentu saja bagiku tak pernah sesempurna sore itu. Tapi sore-sore yang Ia lewati juga tak kalah indahnya. Bukankah pernah kuceritakan sore itu padanya?
Ya, sore itu terus menaungi kepalaku maka aku perlu tempat berteduh yang tak kurasa lama-lama kuanggap pulang. Itulah kenapa aku mengganggumu di kereta. Memulai pembicaraan untuk mencari tempat berteduh. Ketika kereta itu membawamu ke nuansa yang selalu aku rindukan, warna Jawa yang paling kucari. Kucuri hirupan Jawa itu dari pesan yang kau kirim. Kutitipkan salam pada kota-kota yang kau lewati.
Lalu kau ajarkan pula menari pada kakiku yang pincang itu. Yang terlalu lama berdiri di sore-sore. Tanpa sadar aku begitu suka menari. Disitu mulanya aku berjalan pulang walau tak kusadari.
Namun aku masih terus melangkah disini saja. Melewati sore itu setiap hari. Tidak lagi kucuri nuansa itu darimu. Tidak lagi biru itu padamu. Tidak lagi lara-lara yang terbagi. Juga tak ada lagi Dayang Sumbi kepada anaknya. (Bingung? Aku juga)
Sekarang semuanya milikku sendiri.
Kan sudah kubilang, itulah kenapa dinamakan sore. Sedikit jeda diantara pukul tiga sampai terbenam matahari. Hanya sekitar dua setengah jam saja. Sebentar. Tapi sebentar itu luar biasa. Karena ketika kau bertemu dengannya lagi maka kau akan merindukannya berkali lipat.
Baginya langkah tentu masih jauh, tak perlu Ia beri rindu sepertiku. Itulah yang kita sebut hidup, ketika kau berharap bisa lebih muda dari usiamu saat ini. Ketika langkahmu bisa lebih jauh dari kini.
[Have a great next step, dear!!]
picture from here
Tidak ada komentar:
Posting Komentar