Senin, 17 Oktober 2011

Ayo Menari, Ayah

Apabila ada dua kata yang akan saya pilih untuk tema besar tulisan saya, itu adalah "Ayah" dan "Menari". Betapa dua kata inilah yang punya peranan paling besar sebagai sumber inspirasi saya menulis. Sebelum saya tahu tentang lagu lawas dari Luther Vandross. Sebelum saya benar-benar memutuskan untuk menjadi penari. Sebelum saya merindukan Ayah saya sedalam ini. Sebelum sebuah proyek dalam sebelas hari ini memberi petunjuk untuk menulis tentang ini. Saya sudah jatuh cinta terlalu dalam pada Ayah dan pada menari.


Waktu kecil saya menari cha-cha dengan Ayah saya. 


Langkah-langkahnya saya sudah lupa. Tapi Ia selalu menggandeng saya untuk menari. Di tegel kuning di rumah tua kami di Hegarmanah. Saya tidak tahu apakah Ia benar-benar bisa berdansa cha-cha atau tidak. Tapi di setiap langkah kami, Ia selalu bilang pada saya bahwa itu adalah "cha-cha-cha".


Ayah saya menyukai musik waltz


Ia dan Ibu memberi saya sebuah electone di satu ulang tahun saya. Saya hanya belajar setengah-setengah. Tapi Ayah saya senang sekali ketika saya bisa memainkan sebuah lagu waltz kesukaannya. "Song Of The Beach" judulnya. Dia ikut bernyanyi kalau saya memainkan lagu itu. Saya sendiri tidak hafal liriknya. Tapi begitu seringnya saya memainkan lagu itu untuk Ayah saya. Alhasil sampai sekarang hanya lagu itu yang masih bisa saya mainkan di electone yang kini sudah tua itu. 

Ia juga suka Gending Jawa. 
Alunan gamelan terkadang saya dengar walau kini sudah sayup-sayup di belakang kepala. Saya juga tidak peduli dengan itu. Terlalu rumit bagi telinga saya. Membuat saya ingin makan seperti dalam undangan pernikahan. Saya akan mencari dawet gratis atau koin keramik untuk koleksi harta karun saya. Tapi yang pasti bukan duduk dan mendengarkan seperti apa yang selalu Ayah saya lakukan.

Ia mendongeng setiap kali Ia tidak ajak saya menari. 

Kadang Ia bercerita tentang Bitutunu, kisah anak kecil dan raksasa besar. Atau juga dongeng wayang yang tidak pernah saya dengarkan sungguh-sungguh karena mengantuk. Tapi sungguh pengantar tidur yang indah. Lalu nanti di dalam mimpi saya meneruskannya dengan versi saya sendiri. Maka mimpi-mimpi saya penuh dengan karakter wayang dan Bitutunu. Ayah saya juga terlelap di samping saya. Selalu membukakan jendela kayu besar untuk saya di setiap pagi supaya saya bisa cium aroma pinus dan rumput basah. 

Semakin saya dewasa, Ayah tidak kuat lagi menari. 

Apalagi menari cha-cha. Saya juga sudah lupa. Saya juga sibuk dan tidak sempat memainkan Song Of The Beach lagi. Ayah saya juga tidak menuntut. Tapi beliau masih suka ajak saya jalan-jalan tanpa alas kaki di halaman rumah. Katanya bagus untuk kesehatan. Berjalanlah tanpa alas kaki. Apalagi disinari matahari pagi. Ayah saya melakukannya setiap hari. Sambil tunggu saya pulang sekolah. Sambil tunggu saya pulang bermain-main. Sambil tunggu saya menoleh ke arahnya. Saya pun sibuk di dunia saya sendiri. Lupa cha-cha. Lupa waltz. Lupa lagu yang suka saya mainkan. Lupa menari. Lupa Ayah. 


Lalu kakinya tidak kuat lagi menapak. 


Tidak lagi menari. Saya sibuk sendiri. Mencium tangan sebagai rutinitas. Lalu kabur entah kemana. Sampai Ayah saya hanya berbaring, baru saya kembali. Duduk dan mencium tangannya sepenuh hati. Bertanya-tanya akan arti senyumnya yang Ia berikan pada saya. Senyumnya yang terakhir. Sampai ketemu lagi, mungkin itu yang ingin Ia katakan. Atau mungkin juga Ia mengajak saya menari lagi di alam mimpinya. Saya tidak mengerti. Yang pasti saya tidak menari hari itu. Saya menangis. 


Beberapa tahun yang kosong.

Jiwa saya hanya melompat-lompat mencari-cari. Kaki saya melangkah kesana-kemari. Kosong tapi mengarahkan. Seperti napas. Tak terlihat tapi tak ternilai harganya. Tahun-tahun saya penuh bernapas. Hirup dan hembuskan. Sesak dan lapang. Siapa yang sangka kaki ini begitu rindu menari. Kepala saya menoleh sedikit demi sedikit. Menari itu menunggu. Saya mencium tangan Ibu saya dan berangkat. Beliau mengusap kepala saya dan merestui. Melapangkan dadanya demi kecintaan anaknya. Kerinduan anaknya. Menari itu ada. Ibu saya saksinya. 

Lalu menarilah kaki saya, membayar apa yang telah saya lewatkan.


Dongeng-dongeng wayang itu. Langkah-langkah kaki itu. Gamelan Jawa kini mengiringi gerakan saya. Saya menari tanpa alas kaki. Seperti kata Ayah saya. Itu bagus untuk kesehatan. Walau bukan langkah cha-cha atau waltz lagi, tapi saya belajar langkah baru. Yang pasti saya menari. Saya menyatukan semua yang pernah saya lewatkan. Saya tidak ingin kehilangan lagi. Kaki ini sudah tahu langkahnya. Dan entah di suatu saat, di suatu tempat, kami akan menari bersama lagi. Saya jadi Dewi Drupadi. Dan Ia, ayah saya.. Prabu Drupada.


gambar dari Flickr.com
 

4 komentar:

  1. nice :)

    PS: ohya, terima kasih komennya :P

    love, melati

    BalasHapus
  2. sama-sama mbak..salam kenaal ;)
    saya link disini ya mbak blognya.. :D

    BalasHapus
  3. hiks..indah dan sedih sekali cice..

    BalasHapus
  4. Baca tulisan mbak... Membuat saya membuka kembali memori tentang "ayah"
    Setiap orang pasti punya kenangan yg indah tentang "ayah" tak terkecuali saya...

    BalasHapus