Sabtu, 10 Desember 2011

Hari Keempat. Dongeng Si Sakit.

Pernah dengar pendongeng yang jatuh sakit? Aku akan bercerita mengenainya. Si pendongeng kecapekan rupanya. Sekarang ada lubang kecil lebam biru di tangan kirinya, dan luka besar di tukak lambungnya. Pendongeng ini kalah dengan langkahnya. Sudah diputuskan akan berhenti, tapi sebentar saja sudah ambruk di tengah jalan. Ia harus istirahat. Tidurnya pun tidak nyenyak seperti malam-malam biasanya. Masa sih harus didongengi juga? Lucu ya, seorang pendongeng yang minta didongengi. Namun baiklah, berhubung Ia sedang sakit, maka aku akan mendongeng sedikit khusus untuk si pendongeng. Untuk pengantar tidurnya supaya nyenyak, supaya cepat sembuh.

Dongeng ini dongeng lama. Dulu ayahku yang suka ceritakan. Dongeng tentang tujuh bidadari dari negeri kahyangan. Mungkin kau sudah tahu? Si pendongeng pasti sudah hafal di luar kepala. Yang selendangnya diambil lelaki manusia bernama Joko Tarub demi kekagumannya akan kecantikan bidadari-bidadari itu. Salah satu selendang yang berhasil diambilnya itu membuat seorang bidadari tidak bisa kembali ke kahyangan. Kelak kita akan tahu, Nawang Wulan namanya. Tambahkan Dewi di depannya, karena Ia memang seorang Dewi. Wajahnya bersinar seperti rembulan. Kalau kau melihatnya kau seperti sedang melihat terang bulan. Purnama sidhi. Teduh, temaram, dan terang menenangkan. Joko Tarub langsung meminangnya.Dan takut kehilangan kecantikan teduh itu, maka disembunyikanlah rapat-rapat selendang milik Nawang Wulan agar Ia tidak bisa kembali ke kahyangan.

Singkat cerita, hiduplah Joko Tarub dan Nawang Wulan dengan bahagia. Semuanya berjalan baik, hidup Joko Tarub pun bertambah makmur. Hasil panennya selalu berlimpah setiap musim tanpa berkurang sedikitpun. Malah hasilnya senantiasa bertambah dan terus bertambah. Tak ada yang kurang lagi dalam hidupnya. Apalagi dengan istri yang cantik dan baik di sampingnya. Hanya ada satu permintaan Nawang Wulan pada Joko Tarub agar tidak mengintipnya di dapur tiap kali Ia sedang memasak nasi. Joko Tarub pun senantiasa mengikuti sepenuh hati. Tak ada sedikitpun prasangka buruk atau rasa penasaran yang berlebihan di hatinya. Sampai suatu hari, ketika Nawang Wulan harus pergi ke sungai, Ia titipkan nasi yang sedang dimasak pada suaminya. Namun tetap dengan pesan yang sama agar jangan diintip ke dalam dapur. Cukup berjagalah di luar. Lalu pergilah Nawang Wulan.

Joko Tarub tak pernah merasa ingin mengintip sampai saat ini. Rasa penasaran itu sungguh-sungguh mendorongnya membuka pintu dapur dan mengintip kukusan nasi yang masih panas itu. Betapa kagetnya Joko Tarub saat Ia lihat hanya ada sebatang padi di dalamnya. Maka Ia pun tahu kini, mengapa lumbung padinya tak pernah kosong. Mengapa setiap musim panennya tidak pernah berkurang dan malah bertambah. Semuanya karena istrinya hanya mengambil sebatang padi setiap hari untuk makan keluarganya. Sebatang padi itu akan masak menjadi sebakul nasi dengan kekuatan bidadari milik istrinya. Ah, ah, Joko Tarub tidaklah kaget lagi. Bukankah Ia yang menyembunyikan selendang Nawang Wulan dan meminang seorang bidadari yang jelas-jelas bukan manusia untuk menjadi istrinya? Lalu kenapa Ia harus heran akan keajaiban kecil di dapurnya ini? Nawang Wulan saja sudah merupakan keajaiban tersendiri dalam hidupnya.

Maka diputuskannya untuk memberi tahu Nawang Wulan yang sebenarnya. Bahwa dialah yang mengambil selendang bidadari milik Nawang Wulan sehingga Ia tidak bisa kembali ke kahyangan. Bahwa Ia tidak terkejut mendapati keajaiban sebatang padi yang dilakukan istrinya itu. Bahwa Ia tahu Ia telah menikahi seorang bidadari selama ini. Namun, tahukah kau bahwa semuanya tidak sesederhana itu? Nawang Wulan yang jelas-jelas bidadari itu tentu saja tidak bodoh. Tahukah kau bahwa ternyata Nawang Wulan pun tahu bahwa selendangnya disembunyikan Joko Tarub? Tahukah kau bahwa Nawang Wulan pergi ke sungai untuk bertemu kakak-kakaknya sesama bidadari untuk melepas rindu? Ya, dongeng tinggal dongeng.. Bahkan pendongeng pun bisa jatuh sakit. Nawang Wulan senantiasa mengetahui cerita ini dari awalnya. Bahkan mungkin Ia memang sengaja jatuh ke bumi untuk menolong Joko Tarub. Bukankah itu tugas seorang bidadari? Membawa keajaiban-keajaiban untuk menolong manusia.

Namun apa daya, Joko Tarub yang manusia itu juga penuh kesalahan. Ia telah membuka kukusan nasi dan menemukan sebatang padi yang dimasak Nawang Wulan. Itu membuat kekuatan Nawang Wulan hilang. Nawang Wulan kembali ke rumah dan mendapati kukusannya telah dibuka. Ia menangis dan merenung. Menangisi nasibnya karena telah menjadi manusia biasa. Menangisi hidupnya di kahyangan yang tak mungkin Ia gapai lagi. Merenungi hidupnya di bumi yang penuh kesedihan ini. Ia menangis dan mengadu pada Joko Tarub. Ia mengadu tentang harga beras yang mahal. Ia mengadu tentang sulitnya menyebrangi sungai kala arus sedang deras. Ia mengadu tentang malam yang gelap di gubuknya yang irit pelita. Ia mengadu tentang betapa merananya hidupnya tanpa kekuatan bidadarinya.

Joko Tarub jatuh sakit. Sibuk mendengar keluhan-keluhan manja sang bidadari yang jatuh ke bumi. Lelah mencari cara agar lumbungnya senantiasa penuh. Dan Nawang Wulan tetap harus memasak nasi setiap hari. Ternyata Joko Tarub jatuh sakit. Mungkin yang ini tidak pernah diceritakan ayahku. Mungkin juga aku sudah jatuh tertidur sampai ke bagian ini. Si pendongeng tersenyum lemah padaku. Ia masih sakit. Tapi Ia tahu dongeng ini. "Buat apa kau dongengi seorang pendongeng?" tanyanya sambil terbaring. Kan Sang Pendongeng sedang sakit. Siapa tahu kau butuh pengantar tidur, jawabku.

Sang pendongeng tersenyum lemah. Sekarang ada lubang kecil lebam biru di tangan kirinya, dan luka besar di tukak lambungnya. Tapi suaranya masih terdengar di telingaku. Berbisik. Dongengnya kali ini aku yang bicara. Nawang Wulan harus bersusah payah memasak nasi, tapi apapun yang terjadi jangan telat makan. Hargai setiap serpih nasi di piringmu. Syukuri yang tak pernah kau syukuri. Kau disini berbagi rezeki dengan para tukang obat, perawat berbaju putih, dan tukang sapu yang membersihkan sakitmu. Semoga cepat sembuh. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar