Sabtu, 10 Desember 2011

Hari Kelima. Puteri Kecil. Bagian Dua.

Masih ingat tentang Puteri Kecil kan? Ya, Puteri Kecil dari Tanah Barat. Ia yang sedang kehilangan ayahnya dan kekurangan kenyamanannya. Si Puteri dari Tanah Barat ini sudah bertanya kesana kemari mengenai ayahnya. Tapi tak ada yang bisa menjawabnya. Sekarang, kedua kakaknya malah harus pergi meninggalkan rumah karena harus menggantikan tugas ayahnya. Sang Puteri merasa sedih, namun Ia malu untuk menangis. Kenyamanan sudah membuainya selama ini. Rasanya menangis membuatnya akan semakin kehilangan. Tangisnya pun diam-diam. Menangis dibalik punggung ibunya.

Baru kali ini Sang Puteri merasa kegelisahan yang sangat. Pikirannya berputar. Berputar. Kenyamanan sudah tak dirasakannya lagi. Ia merasa harus melakukan sesuatu. Untuk dirinya. Untuk ibunya. Untuk ayahnya. Yang hilang ke tempat yang dia juga tidak tahu. Maka dibukanya alas kakinya. Ia mencoba menapakkan kaki di Tanah Barat tanpa alas. Terkaget Ia, setelah bertahun-tahun Ia hidup di Tanah Barat, minum airnya yang sejuk, menikmati kenyamanan udaranya, namun Ia baru tersadar Ia tidak pernah merasakan tekstur tanah itu sendiri. Jari-jari kakinya tidak pernah menginjak Tanah Barat yang merah dan subur itu langsung tanpa alas.

Sang Puteri meminta restu pada ibunya untuk melangkah tanpa alas kaki. Dihirupnya debu-debu Tanah Barat yang selama ini tak pernah Ia hirup langsung. Turunlah Ia ke pinggir-pinggir Tanah Barat yang tanahnya hampir abu-abu dan bau keringat. Kenyamanan juga ada batasnya, pikirnya. Betapa buta matanya selama ini. Ditutup kenyamanan. Setelah beberapa bulan meniti Tanah Barat tanpa alas kaki, tanpa jawaban, Ia menutup hatinya lebih jauh. Cukup ayahnya. Ia mencintai ayahnya, dan hatinya untuk ibunya. Maka ditulislah sepucuk surat. Isinya kurang lebih begini,

"Selamat berjumpa lagi Tanah Barat.. Dua bulan ini kakiku akan melangkah jauh darimu. Kakiku ingin merasakan kesempatan menyentuh pasir halus Pantai Selatan dan menapaki abu gunung dari utara. Tentunya dengan aroma yang berbeda dari aroma gunung di tanahmu yang menyebar di seluruh arah mata angin. Kesana aku melangkah tanpa alas kaki, sedikit-sedikit menari walau tanpa alunan. Aku menari dengan tanganku dan gamelan yang hanya bergema di kepalaku. 

Tanah Barat, jangan cemburu ya, kau tetap lebih hijau dan sejuk. Nuansamu tetap warna-warni di hatiku, tapi darahku mengalir disini. Di Tanah Tengah ini. Ayah dan Ibuku seolah memelukku di sini. Entah kenapa. Tapi jiwaku menemukan rumahnya. Hidungku menghirup aromanya yang penuh rindu. Walau warna disini hanya cokelat dan cokelat saja. Tapi jemari kakiku mencengkeram erat tanah pasirnya. Tanah yang berbeda dengan tanahmu yang gembur dan merah. Bahkan kulitku terbakar mataharinya tapi tetap berterima kasih pada cerahnya. Ya, di sini di Tanah Tengah matahari bersinar hampir sepanjang minggu. Dan setiap sinar panasnya kuterima dengan lega hati. 

Tanah Barat, aku hanya sementara di sini. Kau tahu kutitipkan Ibuku berpijak padamu seperti kau jaga Ayahku di Tanahmu. Walau kau tahu di darah mereka mengalir warna Tanah Tengah sini, tapi kamu memang pandai merebut hati. Jiwa kami berdarah Tengah, tapi hati kami sepenuhnya milikmu. Maka berikan aku kesempatan sebentar untuk memberi makan jiwaku sejenak ya. Lalu nanti hatiku akan kembali menari di tanahmu. 

Terima kasih Tanah Barat, sampai kita berjumpa lagi ya..

Salam manis, 
Puteri Kecil"

Ya, Puteri Kecil memutuskan untuk berkelana. Ia membuka alas kakinya, meniti mulai dari pinggir Tanah Barat menuju ke Tanah Tengah. Tanah tempat kedua orang tuanya berasal. Dan tahukah kau satu hal? Ternyata Si Puteri Kecil ini begitu suka menari. Menarinya pun tak main-main. Menarinya tanpa alas kaki. Ia diajari Ayahnya. Kehilangan ayahnya membuatnya mencari lebih dalam. Bukankah memang begitu? Apabila kau kehilangan sesuatu, maka kau akan mencarinya sampai ketemu. Sampai tak kosong lagi kau rasa. Sampai kau merasa sesuatu terisi kembali. Itulah yang kelak kau sebut menemukan.

Maka, selamat menemukan hey, Puteri Kecil ;)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar