Senin, 19 Desember 2011

Hari Kesembilan Belas. Perjalanan.

Hari Senin, selalu menjadi hari perjalananku selama hampir satu setengah tahun terakhir ini. Namun, Senin kali ini berbeda. Karena Senin ini mungkin akan jadi hari Senin terakhirku melalui perjalanan ini. Perjalanan menuju tanah berdebu di pinggiran Bandung. Sebelum aku mulai menapaki mimpi-mimpi baruku di ruang nyaman bernama rumah.

Tanah berdebu itu penuh kehidupan. Yang tadinya tidak sungguh-sungguh kurasakan sendiri semenjak aku selalu hidup di tengah kota dan tidak terlalu memberi perhatian ke sekitar. Tanah berdebu itu kusam dan kering, namun banyak orang hidup darinya. Melangkah dan menapak di atasnya. Bermacam-macam rupanya, ada yang ikhlas, ada juga yang terpaksa.

Hari ini kujalani perjalananku menuju ke tanah yang berdebu itu. Perjalanan empat kali naik dan turun angkutan umum yang berbeda. Dengan isi penumpang yang beragam. Angkutan yang pertama membawaku masih di tengah kota. Sepi dan hampir kosong. Banyak angkutan berlomba mencari penumpang. Tapi  memang terlalu sepi. Mungkin para penduduk kota sudah banyak yang memiliki kendaraan pribadi. Peminat angkutan umum berkurang drastis dari yang dulu pernah kualami. Waktu-waktu ketika aku harus berebutan berangkat paling pagi supaya mendapatkan angkutan yang cukup sepi dan kosong untuk berangkat ke sekolah. Namun, kini semuanya sudah tidak seperti itu lagi. Berbanding terbalik. Dulu penumpang yang mencari angkutan, kini angkutan yang mencari penumpang.

Angkutan kedua mulai membawaku sedikit ke pinggiran kota. Di dalamnya banyak anak sekolah yang entah kenapa sedikit kesiangan menurutku. Atau mungkin karena mereka sedang ujian? Entahlah. Ada juga ibu-ibu dan bapak-bapak yang terlihat mau ke pasar atau ke kantor. Sungguh beragam. Tapi kebanyakan hanya penumpang jarak dekat yang naik, kemudian turun tidak jauh dari tempat mereka naik. Mungkin jalur yang dirasa cukup ramai oleh kendaraan membuat mereka malas berjalan kaki walaupun dekat.

Angkutan ketiga yang kunaiki memasuki area pinggiran kota. Mungkin baru dua atau tiga kali kunaiki angkutan ini. Karena biasanya aku pergi lewat jalur yang lain. Dengan sedikit kenyamanan. Tapi memang kali ini aku ingin merasakan sedikit debu langsung di kakiku. Maka di situlah aku. Duduk di dalam angkutan ketiga itu. Di dalamnya kudapatkan banyak kejutan. Mulai dari dua anak kecil yang ribut dan sungguh kotor sekali. Makan rambutan dengan kuku yang hitam-hitam. Sedikit heran kuperhatikan mereka. Ibunya duduk di sampingnya dengan muka tak peduli. Kulihat jam tanganku. Pukul delapan pagi. Rambutan itu masuk ke perut mereka. Sudahkah mereka sarapan? Bersihkah rambutan itu? (ya, aku yang selalu diceramahi ibuku untuk mencuci sedikit apapun buah yang akan kumakan)

Ada juga seorang nenek dengan kebaya dan kain. Mukanya terlihat tua namun senyum di wajahnya. Ujung-ujung jarinya kuning keoranye-oranyean, entah bekas apa. Disebelahnya duduk pula seorang pemuda tinggi besar dengan kulit agak gelap. Duduk dengan muka kaku dan menatap lurus ke depan.

Lalu di depan sebuah pasar di pinggiran Bandung, masuklah seorang bapak-bapak menggotong seember besar daging segar. Duduk di sebelahku. Bisa kulihat betapa segarnya daging-daging yang ada di dalam embernya. Basah dan merah. Baunya pun langsung memenuhi seisi angkutan. Aku ingin menutup hidungku. Tapi tak kulihat seorang pun menutup hidungnya. Lalu melintas di pikiranku, benar juga, daging itu pun makanan. Siapa tahu nanti malam, besok, atau lusa, daging yang ada di dalam ember itu bertemu lagi denganku dalam bentuk yang lain. Mungkin gepuk, ati-ampela, ayam goreng, atau entah apa lagi. Mungkin aku juga akan memakannya. Bukankah selama ini juga aku memakan daging? Apalagi bapak ini dari pasar. Jadi jelas-jelas daging yang Ia bawa memang untuk dijual sebagai bahan masakan. Siapa tahu memang kita akan bertemu lagi. Jadi kuurungkan niatku untuk menutup hidungku. Lama-lama toh baunya hilang juga. Karena terbiasa.

Lalu masuklah satu lagi ibu-ibu muda. Pakai kacamata dan kulitnya bersih. Jilbab merah menutupi auratnya. Cantik. Ia membawa dua plastik besar berisi berbagai macam makanan ringan untuk anak-anak dengan berbagai macam tokoh kartun yang sedang populer di bungkusnya. Tak pernah kulihat label-label itu. Mungkin memang hanya ada di pasar pinggiran saja. Plastik-plastik besar itu ditumpuk didepanku. Hampir sejajar dengan kepalaku. Memenuhi ruang di dalam angkutan itu. Belum lagi satu plastik hitam besar berisi sayur-sayuran. Jelas terlihat ibu ini seorang pedagang juga. Pengusaha, seperti bapak-bapak dan ibu-ibu pengusaha yang di kota berkeliaran naik mobil mewah.

Lucu, dua anak kecil yang tadi berisik pun berebutan ingin mencicipi snack-snack yang dibawa ibu itu. Dan terjadilah transaksi dadakan di dalam angkutan yang sesak itu. Ibu dua anak itu membelikan yang mereka inginkan. Si ibu pengusaha menerima uangnya. Dua ribu rupiah saja. Dapat empat bungkus snack warna-warni yang aku sendiri tak tahu labelnya apa. Kulihat sekilas. Tak kulihat sederet kode-kode tanda kesehatan dari departemen terkait. Ya, kuharap mereka tidak sakit perut setelahnya.

Dari keadaan penuh sesak begitu, satu persatu penumpang turun dan memberi ruang baru. Memang aku salah satu penumpang dengan rute terjauh, maka sampai di ujung perjalanan hanya tertinggal sedikit penumpang dan aku pun turun.

Satu lagi angkutan yang harus kunaiki untuk mencapai tempat tujuanku. Di angkutan yang terakhir ini, naik segerombolan anak-anak sekolah berseragam biru-putih. Lima orang perempuan dan satu orang laki-laki yang semuanya memiliki kulit sedikit gelap. Ramai mengobrol. Ya, tipikal anak sekolah begitu. Aku duduk di pojokan. Mengamati pembicaraan mereka. Sedikit terkejut. Mereka berbincang tentang ujian mereka di sekolah tadi. Sekarang aku tidak begitu ingat lagi. Tapi ketika di angkutan itu kupikir betapa rajinnya mereka. Jauh dari penampilan yang cukup (maaf) kotor dan kurang rapi apabila dibandingkan dengan pelajar-pelajar yang kulihat naik turun di kota dalam angkutan yang pertama tadi. Namun begitu lucunya pembicaraan mereka. Menarik dan pintar. Aku sampai keasyikan mengamati dan ikut mendengarkan mereka. Ketika kusadari sudah waktunya aku turun. Tempat tujuanku sudah di depan mata. Maka turunlah aku. Berhenti menjadi pengamat dan siap menapaki tanah berdebuku sendiri.

Perjalanan selama hampir tiga jam. Dengan empat macam angkutan. Sekitar dua puluh tiga kilometer ke Tenggara Kota Bandung. Selamat datang di tanah berdebu. Sampai seminggu ke depan, aku menapaki kakiku disini. Sampai jumpa :)

4 komentar: