Sabtu, 13 November 2010

Hari Ketiga Belas. Tuan Langit Pagi.

Halo Tuan, kamu mungkin baru hadir saat ini. Datang entah darimana. Dari lorong waktu rentang tiga bulan lamanya. Dari pesan-pesan maya yang beterbangan di langit. Dihantar kabel-kabel. Dan pesan singkat seorang teman yang aku juga tidak begitu kenal dekat. Dia beritahu aku, itu kamu. Luar biasa. Bertemulah kita. Halo, Tuan Langit Pagi. Itu kesan yang aku tangkap darimu.

Langit, karena itu yang kamu tawarkan padaku di awal-awalnya. Pemandangan langit bagus di batas cakrawala. Lalu langit merah yang menari-nari. Lalu langit layang-layang, kamu tunjukkan juga langit-langit biru.  Suka langit, Tuan? Lalu pagi itu kamu tawarkan pula, yang lalu membangunkan aku dari malam-malam membosankan yang aku tinggali untuk merenung. Istilah temanku, menghukum diri sendiri. Ah, tapi ternyata kamu juga mengira seperti itu. Betulkah? Aku sendiri tidak menyadarinya. Aku tidak sadar bahwa aku sedang menghukum diriku sendiri. Ah, menebus dosa tentu bukan begini caranya.

Tuan Langit Pagi, aku bisa menghitung pertemuan-pertemuan pertama itu. Masih kurang dari jumlah jari di kedua tanganku. Wajahmu pun tak kuingat-ingat. Tapi setiap pagi dunia maya itu membentuk tali. Tali yang semu juga.Tapi setidaknya pesannya tersampaikan. Dengan huruf-huruf tak bernada. Yang akhirnya kita pikirkan sendiri nadanya. Kadang ambigu atau retoris. Ditafsirkan saja sendiri. Berminggu-minggu. Tak kunjung datang. Kamu di kotak birumu. Dan aku di ruang putihku. Jauh berkilo-kilo. Aku masih berorientasi sore dan takut malam ketika kamu tawarkan pagi-pagi milikmu. Menemani kosongku di ruangan dingin tempatku merajut sajadah. Tempatku menjejakkan kakiku tak beralas.

Tuan Langit Pagi, sekarang ketika kamu datang, kepalaku sudah terlanjur menyusun benteng-benteng pertahanan yang tadinya kubangun untuk diriku sendiri. Kakiku yang tak beralas ini sudah kusiapkan menari sepanjang hari. Teman-temanku kusediakan tempat di penghujung minggu. Aku ingin bersama mereka lagi. Tapi tarianku tidak boleh berhenti juga. Itu naluriku. Jiwaku. Tempatku beristirahat dari segala lelah. Tak rela aku kehilangan itu. Waktuku tak banyak. Dalam benteng-benteng itu sudah aku bangun ruangan-ruangan tersendiri yang hanya aku yang punya kuncinya. Satu ruangan kosong saja yang kusimpan kuncinya jauh-jauh di dasar saku. Itu sebelum kau datang. Kini ruangan itu yang kuncinya paling atas. Siap dibuka kapan saja kau menyapa. Dan benteng-benteng pertahanan itu kini dibagi dua denganmu. Menyusun strategi baru. Tapi ingat, teman-temanku tetap harus kukunjungi. Dan menariku tak boleh sampai berhenti. Nah, bingung kan? Waktuku tak banyak. Jadi bagaimana strateginya?

Setiap aku pulang, rumahku mengelus kepalaku pelan. Aku meringkuk di perut ibuku. Mencium tangannya. Berbagi rindu dengan darah-darahku, pulang aku menjejak di lantai hangatnya. Duduk aku di kursi bapakku. Itu semua sebentar saja. Sementara itu, benteng-benteng pertahananku harus terus diperkuat. Sekarang berdua denganmu. Aku hanya perlu waktu yang lebih banyak. Dan strategi yang lebih baik. Kesempatan itu padamu, Tuan Langit Pagi? Bantu aku menyusunnya. Supaya aku tidak kehilangan teman-teman sejatiku. Yang aku yakin mereka tidak akan meninggalkanku. Hanya ketakutanku terus menghantuiku, Tuan. Mereka semakin menjauh. Padahal ini hanya aku dan badanku yang tidak sanggup membagi. Hatiku berlari-lari membagi-bagi serpihannya. Mengejar-ngejar mereka di tempatnya masing-masing. Yang di Ibukota. Yang di ujung kota (dekat rumahmu). Bahkan yang tinggal seatap. Mengejar waktu yang tidak kembali dan cerita-cerita yang tidak terbagi dengan mereka semua. Termasuk kamu, Tuan.

Tadinya aku disini hanya ingin menempa diriku sendiri, Tuan. Supaya ketika kembali nanti aku bisa lebih baik lagi. Menyapa teman-temanku dengan kulit baru. Yang tidak terbuat dari plastik. Yang kupakai menutupi luka-lukaku. Yang ingin kubagi dengan mereka tadinya, tapi tak sanggup aku. Tak mengerti bagaimana menutupi luka tanpa membawa kesedihan dan kemarahan untuk mereka. Maka menyingkirlah aku, Tuan. Menyingkir aku ke pinggiran. Supaya aku bisa membenahi diriku sendiri. Tapi malah semakin jauh rasanya mereka. Setiap kembali, aku ketinggalan banyak cerita dan merasa aku yang berubah. Atau mereka. Atau menariku? Apakah aku salah dengan menariku, Tuan? Katakan kau berdiri menyangga punggungku, Tuan. Aku ingin waktuku bertambah banyak. Supaya sempatkan aku menyapa teman-teman sejatiku. Tapi juga menariku melengkapi jiwaku. Semuanya bersamamu, hai Tuan Langit Pagi. Sudah kuputuskan untuk berbagi ini semua denganmu pula.

Karena kupercayakan kembali hati ini untukmu, Tuan.
Kembali aku menjejak di jalan ini.

Tuan Langit Pagi, tahukah kamu, aku bahkan tak punya kenangan khusus denganmu. Aku si penggila memori dan kenangan ini. Yang tak bisa membuang secuil kertas pun tanpa kutimang-timang nilai kenangannya. Bahkan tak ada nuansa-nuansa itu.  Aku si melankolis sejati ini. Drama queen. Aneh bukan? Teman-temanku pasti terheran-heran. Ah, jangankan teman-temanku. Teman-teman kita. Yang sama-sama mengenal kita di waktu-waktu yang berbeda. Di jejaring laba-laba kota kecil ini. Yang kata Dee, jarak tempuh sejarah kita dari SD, SMP, SMA, bahkan universitas bisa ditempuh dengan waktu kurang dari sejam. Dunia ini sempit. Begitu kata mereka. Ternyata banyak kesempatan kita bertemu sebelumnya. Waktu itu misteri. Tidak di dunia maya. Tidak lewat teman yang tak begitu dekat itu. Tapi malah disana kita bertemu. Dunia ini sempit. Waktu itu relatif. Dan hari minggu itu hanya datang satu kali setiap minggunya.

Tuan Langit Pagi, baru kemarin-kemarin waktu kita berjalan antara siang dan sore di hujan-hujan (yang membuat repot) lalu kau menghabiskan sore menunggui aku menari, saat itu kutemukan nuansa itu untukmu. Tiba-tiba terlintas di kepalaku. Dengan nada-nada yang tak menarik hatimu. Tapi istimewa bagiku. Dasar aneh, katamu.  Ah, Tuan baru tahu saya aneh. Makanya mungkin saya memilih Tuan. Yang datang entah darimana. Tiba-tiba memenuhi ruangan-ruangan benteng pertahanan saya. Semakin kuat, tapi semakin penuh.

Ayo sini , pegang kuncinya. Kita susun strategi baru!


You and I painting rainbows when no rain falls on our wall
Smelling raindrops on a hilltop as they fall
You and I laughing loudly with no reasons in our walk
Chasing sunsets, dancing minuet in the dark


Tidak ada komentar:

Posting Komentar